Sabtu, 28 Desember 2013

Langit Kita

Setiap berdoa, biasanya tangan kita tengadah kita hadapkan ke langit, dengan persepsi bahwa ketika menghadap ke langit maka doa-doa yang kita panjatkan lebih afdhol, tetapi apakah memang dulu ketika pertama kali doa diajarkan pada manusia, harus menengadahkan tangan ke langit. Apakah Tuhan itu bersemayam dilangit, bukankah kalau kita pelajari ilmu astronomi, bahwa langit sebenarnya adalah batas vertikal yang bisa kita lihat dari bumi, jadi alam makrokosmos yang maha luas itu adalah keterbatasan kita memandang. 


Kalau langit kita persepsikan dengan warna biru, itukan sekedar pantulan warna lautan yang ditimpa sinar mentari, bukan warna langit yang sesungguhnya. Kalau malam hari langit kan terlihat hitam pekat, hanya bintang-bintang yang dalam perspektif planetorium berwarna macam-macam, tergantung seberapa tinggi suhu bintang-bintang itu. Jadi kemudian apa makna langit bagi setiap doa.

  Kalau Tuhan bersemayam di arasy, di lauhil mahfudz sana, tempat antah berantah yang masih satu manusia saja yang bisa menjangkaunya yaitu kanjeng nabi Muhammad, yang kemudian kita persepsikan tempatnya di atas langit, dan kita bayangkan langit itu di atas, padahal kalau globe yang kita diami sekarang ini adalah bundar atau ellips, berarti logikanya ada yang di atas dan ada yang dibawah, tetapi logika atas bawah hanya berlaku sebagai logika rasional di bumi karena adanya gaya gravitasi bumi yang ditemukan oleh Isaac Newton, yang terinspirasi saat duduk istirahat dibawah pohon apel dan kemudian kejatuhan buahnya, teori Newton  ternyata tidak berlaku  diangkasa raya (big space), karena maha luasnya angkasa raya sehingga kita tidak lagi memerlukan teori atas bawah. Nah tentunya dari sini kemudian kita bisa menerima logika bahwa Tuhan berada dimana-mana. Ini memang perlu pengertian yang mendalam dengan mempelajari teori-teori antariksa.

Suatu ketika nabi pernah ditanya oleh seorang badui, dimanakah Tuhan berada, nabi mengarahkan telunjuknya ke langit, si badui itu kemudian manggut-manggut dan puas dengan jawaban nabi. Tetapi ada sahabat yang menginterupsi Nabi, dia berkata, lho Tuhan itu kan berada dimana-mana tidak terbatas tempat waktu dan ruang? Nabi membenarkan jawaban sahabat tersebut, seraya menimpali bahwa kemampuan berpikir orang badui hanya seperti itu, dia akan bingung kalau kita menjawab Tuhan ada dimana-mana.

Sementara itu, bila ada persoalan biasanya kita butuh langit sebagai media untuk menyampaikan unek-unek kita, serasa lebih pas kalau kita berdoa kepada Tuhan sambil menengadahkan tangan ke langit. Konotasi langit tidak tergantung makna astronomic, tetapi sudah masuk pada wilayah-wilayah yang tidak terjangkau pemikiran manusia. Maka tidak aneh, dan tidak  usah heran bila kemudian banyak capres di negeri ini untuk menguatkan legitimasinya harus ke langitan, harus bertemu dengan para kyai forumlangitan, yang dianggap oleh umat sebagai pemegang amanat Tuhan di bumi, seakan-akan langit adalah kebutuhan yang harus dipenuhi setelah rationalitas manusia sudah pada titik nadzir, walaupun belum tentu para capres itu percaya pada langitan,  tetapi karena mereka ingin populer dimata umat mereka ‘terpaksa’ melakukan sowan ke langitan.
           
Dari sini, kita semakin mengerti bahwa kemampuan otak rasional manusia itu terbatas, manusia tetap memerlukan imbangan-imbangan lain, disinilah porsinya Iman. Manusia dituntut untuk mempercayai hal-hal yang diluar kemampuan akal fikirnya.

Kalau kita berpikir tentang langit saja masih belum menemukan jawaban yang memuaskan pikiran kita, apalagi kalau kita berpikir tentang kehidupan setelah di dunia, kehidupan akhirat yang kita sama sekali tidak pernah menyaksikannya, berbekal cerita-cerita kitab suci, hadist dan kitab-kitab kasik, ditambah komik yang menceritakan sorga dan neraka yang memakai gambar logika dunia, kita diwajibkan percaya tentang alam yang kita belum pernah membayangkannya, karena setiap kita membayangkannya pasti keliru, wala khatara fil qolbil bashar, akhirat adalah tempat yang tidak pernah terdetikpun dalam hati manusia manapun. Semakin sulit, mari kita tengadah ke langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar