Rabu, 20 Juli 2016

INTERNATIONAL PEOPLE'S TRIBUNAL 65 DAN UPAYA MEMBANGUN OPINI PUBLIK

International people's tribunal 65 ?
International people's tribunal 65 merupakan  Pengadilan rakyat Internasional Peristiwa 1965 dengan koordinator nya adalah Nur syahbani kuncasungkana. Dengan dibentuk secara resmi yang kemudian menjadi alat tekanan para aktivis HAM, akademisi, jurnalis, mahasiswa, tokoh masyarakat kepada pemerintah Indonesia untuk mengungkapkan kebenaran di balik peristiwa PKI di 1965.

International People’s Tribunal  lebih tepatnya menuntut pemerintah Indonesia untuk mengungkap genosida pascaperistiwa 30 September 1965. Dimana mereka berkeyakinan bahwa hampir satu juta orang dikejar, dibunuh, dan disiksa karena dianggap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)

Hal di atas yang menjadi dasar dibuatnya International People’s Tribunal 1965  oleh para pejuang HAM, agar pemerintah menyelesaikan kasus tersebut. Pengadilan internasional ini diadakah di Den Haag, Belanda.

Penertiban atau pembersihan (dalam bahasa jendral soeharto) PKI oleh  TNI karena melakukan  pemberontakan G 30 S/PKI, 1965, sekarang diputarbalikkan  menjadi kasus pelanggaran HAM. 
International People’s Tribunal atau pengadilan rakyat yang digelar di Den Haag, Belanda menghasilkan Putusan akhir pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 menyebutkan, Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966, Salah satu dari 10 kejahatan HAM itu ialah genosida atau tindakan sengaja untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu. Kejahatan genosida ini dialami anggota, pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). 
Sepuluh kejahatan HAM berat yang dilakukan pada periode 1965-1966 adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida. 
Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya Negara Indonesia. (dikutip dalam salinan putusan IPT 1965)

Semua tindakan itu merupakan bagian integral dari serangan yang menyeluruh, meluas, dan sistematis terhadap PKI, organisasi-organisasi onderbouw-nya, para pemimpinnya, anggotanya, pendukungnya, dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas juga terhadap orang yang tak berkaitan dengan PKI.

Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian, meminta maaf pada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.
Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ketiga, memastikan ada kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.

IPT 65 ini hanya bisa mengeluarkan rekomendasi tanpa ada akibat hukum lainya yang harus diterima oleh tergugat. Karena IPT 65 ini hanya dibentuk oleh aktifis HAM, LSM, akademisi dll, hanya tempat pelaksanaanya di den Haag.
Pengadilan ini tidak memiliki kekuatan hukum Karena IPT 65 ini bukan lembaga hukum international/ tidak berlembaga hukum.

simpatisan PKI mencari sensasi. 
Banyak Cara telah dilakukan oleh simpatisan PKI untuk mencari sensasi dan agar banyak menjadi pembicarakan publik, salah satu nya  menggunakan momentum peringatan HUT RI Agustus 2015, menuntut agar presiden meminta maaf kepada PKI. Beberapa cara gagal dilekukan namun tidak mengurangi niat mereka menggugat pemerintah RI. Walaupun faktanya banyak yang tidak simpati dari masyarakat.
Mereka selalu menyampaikan akan Terus memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia sehingga pemerintah meminta maaf.

Sejumlah aktivis HAM dan LSM simpatisan PKI melaksanakan persidangan korban ’65 di Den Haag, Belanda. Mereka menuntut permintaan maaf dari pemerintah atas insiden ’65 lalu di mana ada pembersihan bagi mereka yang tersangkut PKI.

Mereka menyebutnya Pengadilan Rakyat Internasional, atau International People’s Tribunal (IPT), untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965.
IPT digagas pada 2013 oleh simpatisan pemberontakan PKI 1965, baik mereka yang berada di pengasingan maupun di Tanah Air. Penggagas lainnya termasuk juga aktivis hak asasi manusia, intelektual, seniman, jurnalis, akademisi, dan lainnya. Gugatan ditujukan kepada pemerintah Indonesia, secara khusus militer.
Persidangan membahas sejumlah agenda Yaitu, tentang pembantaian massal dan perbudakan, penahanan, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Kemudian tentang pengasingan atau eksil, penghilangan paksa, dan propaganda kebencian. Pengadilan juga, kabarnya membahas tentang keterlibatan negara lain.

Ada tujuh hakim yang menyidangkan kasus ini, antara lain Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob.


Membaca  sejarah harus secara utuh.

Sejarah perlu dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Pemahaman sejarah yang hanya dengan membaca potongan-potongan fragmen, sementara sebagian fragmen telah dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan pemahaman menyimpang. Tidak hanya itu, bahkan bisa memutarbalikkan fakta dalam peristiwa. Hal itu terjadi di tengah bangsa ini dalam memahami sejarah pemberontakan PKI.

Dalam pandangan sejarah kontemporer yang tidak benar, PKI hanya dianggap membuat maneuver hanya tahun 1965. Itu pun juga tidak sepenuhnya diakui, sebab peristiwa berdarah  itu dianggap hanya manuver TNI Angkatan Darat. Kemudian dibuat kesimpulan bahwa PKI tidak pernah melakukan petualangan politik. Mereka dianggap sebagai korban konspirasi dari TNI AD dan ormas Islam anti PKI seperti NU dll.(As'ad said Ali. nuonline)
digelarnya pengadilan kasus 1965 di Den Haag merupakan pembodohan sejarah dan sangat naif bagi orang Indonesia yang ikut di dalam serta tidak memiliki rasa nasionalisme.

Kenapa harus di den haag belanda IPT dilaksanakan, kenapa tidak di negara lain yang tidak memiliki sejarah pelanggaran HAM. Kita semua tahu berapa banyak rakyat kita yang dijadikan korban semasa Belanda menjajah Indonesia selama kurang lebih 300 tahun. bagaimana soal pembantaian 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan yang dilakukan Westerling itu. Mengapa mereka yang di Den Haag diam dan seolah tidak ada apa-apa. Pengadilan HAM kasus 1965 di Denhaag itu jelas merupakan kebodohan sejarah. (Anhar Gonggong) 

Anhar mengatakan, fakta sejarah pun telah menyatakan perbuatan pelanggaran HAM yang serius, seperti pembunuhan, juga dilakukan oleh aktivis PKI pada periode 1960-1965. Kaum komunis pada saat itu juga  tercatat terus memprovokasi bangsa ini, khususnya umat Islam, seperti  hendak mengambil tanah milik pesantren, dan berbagai aksi sepihak lainnya. 

Jika cara-cara seperti ini terus dilakukan oleh pendukung dan simpatisan PKI maka penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM terkait peristiwa sekitar 1965 dipastikan tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, hanya akan menimbulkan persoalan baru dan perpecahan antarmasyarakat akan kembali terjadi.
Memahami sejarah, apalagi kasus 65 harus di baca secara utuh serta harus memahami suasana kebatinan dari masing-masing pihak sehingga melakukan tindakan seperti Itu. Sehingga tidak lagi parsial dan menganggap  hanya PKI yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh aparatur negara.

Penggiringan opini bahwa hanya PKI yang merasa jadi korban pelanggaran HAM diperkuat oleh hasil laporan komnas HAM terkait investigasi kasus 65.  Bukankah PKI juga melakukan penculikan, pembunuhan dan penyiksaan para Jenderal, pembantaian Umat Islam di Madiun dan pelecehan agama dengan pembakaran-pembakaran Al-Qur’an. Bukan hanya itu saja, PKI bahkan berusaha melakukan makar terhadap Negara dengan ingin merubah konstitusi Negara berdasarkan komunisme.

Opini yang berkembang  ini berpotensi menimbulkan persangkaan negatif dari publik yang menilai Komnas HAM hanya melindungi korban pelanggaran HAM berat dari kalangan PKI dan simpatisannya saja.

Menyoal peran komnas HAM 

Komnas HAM  semestinya  tidak hanya mendengar sepihak terkait korban G30S PKI. Harus lebih proportional dalam melakukan investigasi kasus 65,  tidak cenderung berpihak kepada PKI dan tidak mendengar pandangan dari kelompok anti-komunis. Bahkan mendorong pemerintah untuk meminta maaf kepada PKI. 
Hal ini di terus dilakukan dan didukung oleh simpatisan PKI dengan terus melakukan publikasi dimedia mendorong president meminta maaf.
Dan terus membangun opini seolah-olah yang menjadi korban adalah orang-orang PKI. Padahal, itu hanyalah segelintir saja dibandingkan dengan korban seperti para ulama dan kyai, yang dibunuh secara keji dan biadab.

Komnas HAM terlihat sang at tidak bijak dalam memandang kasus 65, maka wajar jika publik mempertanyakan nasionalisme komisioner komnas HAM. 

Husnul Hakim Sy, MH
Sekretaris GP ANSOR KAB MALANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar