Jumat, 10 Juni 2016

ISLAM RAMAH ALA GUS DUR



Tak akan habis tulisan jika kita membahas sosok KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di sapa Gus Dur. Lahir tanggal 7 September 1940 di Jombang, Gus Dur kecil menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, Gus Dur sangat disegani lantaran dia adalah anak dari KH. Wahid Hasyim dan cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Keluasan ilmunya tidak lain karena selain Gus Dur belajar di pesantren, dia pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar Kairo, Baghdad, dan universitas di Barat.

Sehingga corak pemikiran yang unik membuat dirinya mempunyai pengetahuan yang luas. Pada saat Gus Dur menjadi presiden atau setelah dia menjadi presiden banyak isu-isu kemasyarakatan yang melanda Indonesia, terlebih kerusuhan yang mengatasnamakan agama seperti kerusuhan di Ambon, Poso, pembakaran rumah Ibadah, dilarangnya agama Khong Hucu, membuat Indonesia dijurang perpecahan. Agama pada waktu itu seperti biang kerusuhan dan perpecahan, karena atas nama agama terjadi konflik.

Gus Dur tahu, jika ini dibiarkan maka Indonesia bisa hancur, sehingga dia menampilkan Islam yang ramah. Gus Dur sering mengeluarkan lelucon mengenai agama sehingga kita mampu tertawa bersama agama, terkadang lelucon itu sebagai koreksi terhadap sikap keberagamaan kita. Sudah cukup agama membuat kita menangis dan mengeluarkan darah, justru seharusnya agama membuat manusia senang dan bergembira karena dengan adanya agama hidup menjadi berwarna.

Gus Dur dalam menampilkan Islam ramah sudah tidak melihat suku dan agama, bagaimana masyarakat Tionghoa yang didiskriminasi pada saat orde baru dengan melarang keyakinan dan kebudayaannya di Indonesia, pada zaman Gus Dur, itu diperbolehkan. Bahkan imlek dirayakan dua kali, di Jakarta dan di Surabaya. Bagaimana teringat, salah satu masyarakat Tionghoa yang terharu dengan perjuangan Gus Dur untuk masyarakat Tionghoa bebas menjalankan keyakinannya.

Gus Dur juga sering membela kaum yang lemah, yang mana dia mendapatkan diskriminasi. Konsisten Gus Dur dalam membela kaum minoritas membuat sahabatnya Gus Mus merasa sedih, dia berjalan sendirian demi keadilan yang merata entah itu mayoritas dan minoritas. Gus Dur sudah tidak berbicara lagi apa agamanya, melainkan berbicara "Inilah manusia". Gus Dur hanya berusaha bagaimana Islam dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.

Gus Dur juga yang meresmikan gereja yang dilarang agar umat Kristen mampu melaksanakan keyakinannya. Begitu juga bagaimana Gus Dur dengan lantang menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara beragama, jadi seluruh agama berhak hidup di Indonesia.

Dari jasa Gus Dur untuk membuat wajah Islam ramah kembali, ada saja yang menghinanya dengan sesat, liberal, kafir, buta, pincang, dan lain-lain. Padahal meskipun Gus Dur buta, dialah yang mengajarkan kita melihat manusia seutuhnya terlepas dia agamanya apa dan sukunya apa, meskipun dia pincang, dialah yang menuntut kita untuk saling menghormati orang lain. Maka setelah Gus Dur wafat, muncullah kelompok-kelompok ekstrim dan intoleran. Sifat beragama mereka kaku, karena bagi mereka agama hanyalah dosa, pahala, surga dan neraka. Kasus-kasus konflik agama di Indonesia muncul kembali seperti pelarangan rumah ibadah, pembunuhan atas nama agama, dan lain-lain.

Bisakah memohon kepada Tuhan agar Gus Dur dihidupkan kembali untuk memimpin bangsa ini kembali? Bangsa ini butuh sosok yang menampilkan Islam ramah, Islam yang membawa kesejukan, karena apa sesuai dengan kata Gus Dur, "Kita butuh Islam ramah bukan Islam marah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar