Minggu, 29 Mei 2016

Kontribusi Kiai Ihsan Jampes dalam Pembumian Tasawuf Nusantara




Kontribusi Kiai Ihsan Jampes dalam Pembumian Tasawuf Nusantara
Oleh Wasid
Membincangkan tasawuf di Nusantara akan lebih memadai, jika tidak mengatakan kurang sempurna, bila tidak mengurai peran pesantren dan tokoh-tokohnya dalam membumikan nilai-nilai tasawuf, baik sebagai wacana maupun sebagai praktik. Tesis ini tidak berlebihan sebab dunia intelektual pesantren telah cukup lama bergulat dalam tradisi intelektual kitab kuning, yang secara prinsipil dengan mengutip perkataan Gus Dur adalah kitab-kitab yang bernuansa fiqih sufistik. Hal ini di ukur melalui intensitas komunitas dalam menjadikan kitab kuning sebagai bahan bacaan di satu pihak  dan dalam mengakrabi nilai-nilai lokalitas di pihak yang berbeda. Karenanya, paradigma ini menjadi titik pijak yang mendasari seluruh praktik keagamaan kalangan pesantren, sekaligus respon mereka terhadap isu-isu sosial dan budaya yang dihadapinya.

Tapi, bila dirunut lebih jauh, apa yang dialami dunia pesantren serta tradisi yang dikembangkannya cukup menggambarkan keberadaannya dan gerak dakwahnya memiliki kemiripan dengan apa yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal di Indonesia (Wali Songo), khususnya dalam konteks menjadikan nilai-nilai tasawuf sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari praktik keseharian dan keberhasilan dakwahnya. Karenanya, mengutip  Zamakhsyari Dhofier, bahwa mengkaji tentang sejarah intelektual Islam Nusantara tidak tepat, jika tidak mengatakan salah, bila tidak mengulas tuntas tentang lembaga-lembaga pesantren dan menelusuri perubahan yang dialaminya dari satu generasi ke generasi, termasuk mengkaji karya-karya para pengasuhnya.
Keterlibatan para kiai-kiai pesantren mengulas beberapa kitab kuning memungkinkan nuansa tasawuf Sunni Ghazalian mengalami perkembangan yang cukup masif, dari pada tasawuf falsafi, bahkan telah menjadi praktik keseharian komunitas santri dan Muslim tradisional. Oleh karenanya, beberapa kitab imam Al-Ghazali, misalnya kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din,cukup akrab dalam lingkungan pesantren, termasuk kitab-kitab lain yang secara prinsip memiliki kemirian dengan nalar tasawuf Sunni Ghazalian, yakni tasawuf yang mampu berharmoni dengan shari’ah dengan mengutip sumber-sumber pokoknya dari Al-Qur’an dan hadits serta pendapat para tokoh sufi yang dikenal memiliki integritas, tanpa memasukkan di dalamnya pikiran-pikiran kefilsafatan. 
Salah satu tokoh pesantren yang mengagumi pikiran-pikiran Al-Ghazali adalah Kiai Ihsan ibn Dahlan Jampes Kediri. Sebagai tokoh pesantren murni –dan asli didikan pesantren-- kekaguman Kiai Ihsan pada Al-Ghazali meniscayakan perkembangan intelektualnya senantiasa beradaptasi secara konsisten dan terus menerus dengan beberapa pemikiran Al-Ghazali hingga mengantarkannya pada posisi yang cukup penting dalam ranah perkembangan intelektual pesantren, bahkan dalam lingkaran pemikiran dunia Islam pada umumnya, terkhusus dalam konteks kajian tasawuf.
Prestasi ini salah satunya tidak lepas dari tulisan Kiai Ihsan, yaitu kitab Siraj al-Thalibin  yang terdiri dari dua jilid, yang sampai hari ini tidak saja dibaca oleh kalangan pesantren, tapi juga dikaji di beberapa lembaga pendidikan di dunia Islam, misalnya Mesir dan Maroko, bahkan kitab ini juga turut mengisi beberapa rak perpustakaan di beberapa perpustakaan dunia baik Timur maupun Barat. Kiai Ihsan adalah potret dari didikan pesantren, yang mengantarnya menjadi produsen ilmu pengetahuan dalam kajian keislaman, bukan sekedar konsumen belaka. Darinya, tasawuf Sunni Ghazalian ditafsirkan tanpa kehilangan ruh dan spirit lokalitas kehidupan Kiai Ihsan, termasuk dalam merespon isu-isu lokal yang dihadapi masyarakatnya.   
Dalam konteks ini, berpijak pada apa yang dialami Kiai Ihsan, maka pernyataan Abdurrahman Mas’ud (2004) mendapatkan momentumnya, ketika membincangkan kaitan erat pergumulan intelektual pesantren dengan agama dan tradisi masyarakatnya. Selanjutnya, Mas’ud menegaskan tentang peran ulama Nusantara dan pesantren sebagaimana berikut;
“Tradisional bukanlah konservatif secara intelektual, seperti yang dibuktikan oleh tradisi kuat dunia Islam, serta ketekunan dan ketabahan dalam mencari ilmu, yakni santri yang haus akan ilmu pengetahuan. Fungsi ajaran Islam di tangan para ulama’ menunjukkan bahwa dinamisme intelektual dalam komunitas ini tetap terjaga esensinya, tidak tergoyahkan selama berabad-abad”. 
Ulasan tasawuf Kiai Ihsan yang menggunakan bahasa Arab fusha memungkinkan karyanya, Siraj al-Talibin,dapat dibaca oleh kalangan peminat dan pemerhati dunia tasawuf, khususnya tasawuf Ghazalian. Padahal, sebagai penafsir konsep-konsep tasawuf, lokalitas Kiai Ihsan meniscayakan turut mempengaruhi pada tafsiran-tafsirannya yang kemudian tidak salah bisa dikategorikan model penafsiran tasawuf lokal (local sufism). 
Jejak Singkat Perjalanan Intelektual Kiai Ihsan
Kiai Ihsan ibn Dahlan ibn Saleh Jampes, yang selanjutnya disebut Kiai Ihsan, hidup dalam lingkungan tradisi pesantren. Tidak ada data detail yang menyebutkan kelahirannya, tapi salah satu sumber menyebutkan ia lahir pada tahun 1901 di lingkungan pesantren Jampes, dusun Putih Kecamatan Gampengrejo Kediri Jawa Timur. Karenanya, tradisi pesantren dipastikan ikut membentuk pribadi Kiai Ihsan semenjak kecil, bahkan hingga masa-masa berikutnya. 

Sementara itu, pertumbuhan intelektual Kiai Ihsan telah melewati fase yang cukup panjang, tidak sekali jadi sebagaimana hal ini juga dialami oleh para kiai-kiai pesantren dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman. Hanya saja, menariknya Kiai Ihsan diakui banyak pihak berproses mencari ilmu tidak seperti layaknya dilakukan kebanyakan santri. Pasalnya, penguasaan ilmu yang matang biasanya harus membutuhkan waktu yang lama, tapi bagi Kiai Ihsan semua proses belajar dilakukan dengan waktu yang relatif singkat, meskipun dirinya tetap menambah ilmu ke beberapa kiai-kiai pesantren yang dikenal kealimannya dan tetap istiqamah menelaah berbagai disiplin keilmuan kitab kuning.
Mulanya, Kiai Ihsan mendapat pendidikan secara langsung dari ayahnya, Kiai Dahlan ibn Saleh dengan cara-cara yang lazim dilakukan di lingkungan pesantren, yakni belajar Al-Qur’an dan mengulas kitab kuning dengan materi yang beragam; dari fiqih, ilmu kalam, tafsir hingga ilmu tasawuf. Di samping itu didikan awal Kiai Ihsan juga didukung secara intens oleh neneknya, Nyai Isti’anah, yang dikenal pada masanya memiliki kemampuan membaca dan mengulas beberapa kitab kuning, seperti Tafsir Jalalain karangan imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.
Setelah dipandang matang, lantas Kiai Ihsan melancong ke beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Proses nyantri ke beberapa pesantren dipandang penting sebab mengambarkan hubungan genealogis intelektual Kiai Ihsan dengan beberapa kiai-kiai pesantren. Bagi kalangan pesantren, nyantri ke beberapa kiai senior—khususnya— diyakini bukan sekedar ingin memperdalam keilmuan Islam dalam kitab kuning, tapi sekaligus sebagai langkah  memperoleh keberkahan. Oleh karenanya, sekalipun santri dipandang sudah menguasai berbagai macam kitab kuning, tapi tidak sedikit hanya untuk mencari keberkahan, ia harus mengaji kembali kepada para kiai-kiai tertentu yang dipandang memiliki keahlian khusus baik dari sisi keilmuan hingga kharismanya, sebagaimana juga dilakukan oleh Kiai Ihsan.
Kemudian, Kiai Ihsan nyantri ke pondok pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH Khozin yang masih pamannya sendiri. Setelah itu, ia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Di antara pesantren yang pernah menjadi jujukannya adalah; pesantren Jamsaren Solo, pesantren KH Ahmad Dahlan Darat Semarang, pondok pesantren di Mangkang Semarang, pondok pesantren Punduh Magelang. Secara khusus, Kiai Ihsan belajar ilmu Arudl(ilmu shi’ir) di pesantren Nganjuk dan memperdalam kitab al-Fiyah ibn Malik, salah satu kitab Nahwu dan Sharaf yang memuat 1000 lebih nadam, di pesantren Demangan Bangkalan Madura di bawah asuhan Syaikhana Khalil ibn Abdul Latif.
Pergumulan Kiai Ihsan dengan beberapa kiai ini menuai banyak hal penting bagi pertumbuhan intelektualnya, sekaligus perkembangan nilai-nilai spiritualitasnya sebab perbedaan kiai-kiai pesantren nampaknya juga menggambarkan perbedaan keunggulan intelektual kiai-kiai itu dalam bidang keilmuan dan praktik keagamaan tertentu. Dari sini, pergolakan intelektual Kiai Ihsan lahir dari sumber-sumber yang beragam dan dikenal dieranya masing-masing sehingga kelak dirinya juga menguasai keilmuan yang beragam pula. 
Setelah menimba ilmu di berbagai pesantren, akhirnya Kiai Ihsan kembali pulang, yakni ke rumah pondok pesantren Jampes untuk membantu mengajar bersama sang ayah, Kiai Dahlan. Tepat pada tahun 1926, Kiai Ihsan --dengan nama kecil Bakri—melaksanakan ibadah haji. Menariknya, menurut beberapa riwayat, dalam proses ibadah haji itu Kiai Ihsan sempat menimba ilmu ke salah satu syaikh dari Mesir, khususnya dalam bidang ilmu Falak, yang membuka pengajian di masjid al-Haram Makkah sambil menunggu kepulangannya menggunakan kapal api. Setelah pelaksanaan haji itu, nama kecil Bakri menjadi Ihsan; dengan harapan --sesuai dengan nama barunya-- kelak Bakri mengalami perubahan hidup dan benar-benar menjadi muhsin sejati, yakni orang yang senantiasa menyempurnakan hak-hak Tuhannya, sekaligus hak makhluk-Nya. 
Selang beberapa tahun kemudian, Kiai Ihsan menjadi pemangku setelah sebelumnya Kiai Dahlan, ayah Kiai Ihsan, meninggal pada tanggal 25 Syawal tahun 1928 M dan selama empat tahun untuk beberapa waktu kepemimpinan pondok pesantren Jampes di pegang KH Kholil, adik Kiai Dahlan yang kecilnya bernama Muharrar. Kepemimpinan pondok pesantren Jampes di asuh oleh Kiai Ihsan dimulai tahun 1932, ketika masih berumur 31 tahun. Sungguh beban yang cukup berat, tapi itulah amanah demi kelangsungan pondok pesantren Jampes ke depan, sekaligus demi menjaga nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Semenjak Kiai Ihsan pulang dan turut membantu mengajar dan akhirnya memimpin pondok pesantren Jampes, ia menghabiskan masa lajangnya dengan menikah. Tercatat, Kiai Ihsan menikah dengan Gadis dari desa Sumberejo Poncokusumo Malang, hanya beberapa saat kemudian berpisah. Lantas menikah kembali dengan putri KH Mahyin dari desa Durenan Trenggalek, gadis dari desa Kapu Pagu Kediri dan gadis desa Polaman Kediri. Sekalipun perpisahan selalu dialami dalam bahtera rumah tangganya, menurut penulis, Kiai Ihsan tetap menghadapinya dengan penuh kesabaran, bukan larut dalam kesedihan apalagi dia dikenal sebagai pelaku tasawuf. Lebih dari itu, menariknya sekalipun menanggung beban psikis yang sangat berat, Kiai Ihsan mampu menyikapinya dengan dewasa. Bahkan, tetap total mengabdikan dirinya mengajar di pondok pesantren Jampes dan fokus pada hobinya sebagai penulis. Tidak tanggung-tanggung dalam kondisi tersebut, Kiai Ihsan mampu menulis kitab Siraj al-Talibin yang terdiri dua jilid kitab.
Selanjutnya, Kiai Ihsan pada tahun 1932 –yang pada tahun yang sama memegang kepemimpinan pondok pesantren Jampes— menikah dengan Surati (Hj Zainab) dari desa Kayen Kidul Kecamatan Pagu (sekarang disebut kecamatan Kayen Kidul), puteri H Abdurrahman salah satu alumni pesantren Jampes dan murid Kiai Dahlan. Dari pernikahan yang terakhir ini, terlahir delapan putra-putrinya yang kelak melanjutkan perjuangan Kiai Ihsan, khususnya bagi keberlangsungan pondok pesantren  Jampes. Di antara putra-putri Kiai Ihsan adalah Husniyah (meninggal waktu kecil), Hafsah, Muhammad, Abdul Malik, Rumaisa, Mahmudah, Anisah, dan Nusaiziyah. Pada saat ini, regenerasi kepemimpinan pondok pesantren al-Ihsan Jampes,  dipegang oleh beberapa cucu Kiai Ihsan, yang ketika penulis melakukan wawancara sempat bertemu dengan KH Munif ibn Muhammad dan  KH Busrol Karim Abdul Mughni. 

Karya-karya Kiai Ihsan
Dalam konteks pergumulan intelektual pesantren –termasuk Intelektual Muslim Nusantara—ketenaran nama Kiai Ihsan sampai hari ini tetap dirasakan, salah satunya disebabkan oleh produktifitasnya dalam dunia tulis-menulis. Berbagai karya telah ditorehkan dalam berbagai disiplin. Sekalipun Kiai Ihsan hidup dalam lingkungan pesantren yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kehidupan kota, ternyata karya-karya yang ditorehkan mampu melampaui komunitas pesantren bahkan melampaui negara sendiri. Karya-karya itu sekaligus menjadi petanda nyata dari posisi intelektual Kiai Ihsan dalam lingkup pergumulan pemikiran Muslim Nusantara.


Adapun karya-karya Kiai Ihsan sebagaimana berikut: Pertama, Tashrih al-‘Ibarat; kitab ini mengupas tentang ilmu falak (Astronomi).  Kitab yang pernah terbit tahun 1929 adalah penjelas dari kitab Natijat al-Miqatkarangan KH Ahmad Dahlan Semarang. Secara genealogis, hubungan kedua kitab ini setidaknya menunjukkan hubungan ilmu Kiai Ihsan sebagai santri dengan Kiai Dahlan selaku gurunya. Pasalnya, dalam waktu tertentu, Kiai Ihsan pernah nyantri kepada Kiai Dahlan yang dikenal sebagai ahli falak. 

Kedua, Siraj al-Talibin (lentera bagi para pencari jalan Allah); kitab ini adalah sharah dari karya imam Al-Ghazali, yakni Minhaj al-‘Abidin (jalan bagi para penyembah). Dilihat dari judulnya Siraj al-Talibin, nampaknya karya Kiai Ihsan ini laksana lampu—atau jalan dalam istilah Al-Ghazali—bagi  mereka yang mendambakan kedekatan diri kepada Allah SWT. Karya ini dalam versi cetak terdiri dari dua jilid dengan jumlah halaman lebih dari 1000 dengan ulasan menggunakan bahasa arab baku (fusha). Ulasannya yang begitu luas dan lugas mengantarkan kitab sharah ini semakin mudah dipahami, terlebih dalam konteks mempermudah pemahaman atas karya Al-Ghazali;Minhaj al-‘Abidin yang dalam versi cetak hanya terdiri dari 93 halaman.
Banyak kalangan yang memberikan komentar atas keunggulan isi kitab Siraj al-Talibin baik dari komunitas pesantren maupun komunitas Muslim di dunia. Dari komunitas pesantren sebut saja di antaranya; KH Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan salah satu pendiri NU, Kiai Abd al-Karim dari Lirboyo Kediri, Kiai Muhammad Khazin ibn Shalih Bendo Pare Kediri, Kiai Muhammad Ma’ruf Kedunglao Kediri dan lain-lain. Termasuk, raja Farouk Mesir, yang berkuasa pada 1936-1952, mengakui keunggulan ini sehingga—melalui delegasinya—hingga ia mengajak Kiai Ihsan agar berkenan menjadi salah satu dosen di Universitas al-Azhar Mesir, sekalipun Kiai Ihsan menolak dengan lebih memilih pondok pesantren Jampes sebagai medan perjuangannya melalui pengajian kitab-kitab kuning bersama para santrinya.     
Ketiga, Manahij al-Imdad; kitab ini adalah sharah (ulasan) dari kitab Irshad al-‘Ibad  karangan Syeikh Zain al-Din ibn ‘Abd ‘Aziz ibn Zain al-Din al-Malibari (982 H). Sekalipun sharah, tapi kitab Manahij al-Imdad yang ditulis tahun 1940 tetap menunjukkan keluasan pikiran Kiai Ihsan sebagai penyusun. Pasalnya, dari kitab Irshad al-Ibad yang jumlah halamannya hanya berkisar 118 halaman, Kiai Ihsan mampu mengulas dan menganalisanya dengan serius dan tajam dalam bentuk kitab yang terdiri dari dua jilid dengan mencapai sekitar 1000 halaman lebih. 
Secara umum kitab Manahij al-Imdad—yang ditulis tuntas pada hari Kamis, akhir bulan Jumady al-Tsani tahun 1360 H bertepatan tahun 1940- memuat beberapa persoalan dalam kajian Islam, yakni tentang keimanan, fiqih hingga tasawuf, sesuai dengan kitab yang disharahnya (Irshad al-Ibad). Namun, ulasannya yang original dan lugas dengan bahasa Arab baku (fusha) serta dengan mengutip beberapa sumber memungkinkan kitab ini bukan sekedar kitab penjelas, tapi sebuah kitab yang menggambarkan kompleksifitas kemampuan penulisnya dalam berbagai disiplin. 
Keempat, kitab Irshad al-Ikhwan li Bayan Shurb al-Qahwati wa al-Dukhan (Petunjuk Bagi Para Saudara; Menjelaskan tentang Minum Kopi dan Merokok). Kitab ini adalah bentuk nazam yang telah disharahi dan memuat empat bab pembahasan. Kitab ini secara umum mengupas tuntas tentang seluk-beluk hukum merokok dan minum kopi. Dipastikan, hadirnya kitab ini adalah bentuk respon terhadap masyarakat di sekitar pondok pesantren Jampes yang masih memperdebatkan persoalan hukum merokok dan minum kopi. Perdebatan kusir antar mereka direspon secara ilmiah oleh Kiai Ihsan dengan menghadirkan pandangan ulama secara luas dan tidak terkesan hitam putih. Dengan pola ini diharapkan masyarakat tidak mudah men-vonis para peminum kopi dan perokok sebagai orang tertuduh, jika tidak mengatakan salah, karena kopi dan rokok juga memberikan dampak positif bagi penggunanya di samping memang ada dampak negatifnya.   
Sekilas tentang bahasannya, Kiai Ihsan menggunakan kaedah fiqhiyah al-wasail hukm al-Maqasid (perantara memiliki hukum yang sama dengan tujuan) dalam mengomentari hukum merokok dan minum kopi. Artinya, bila keduanya sebagai sarana ibadah, maka hukum menggunakannya dipandang sebagai ibadah. Bila untuk sesuatu yang haram, maka hukumnya haram, dan seterusnya. Hanya saja, Kiai Ihsan lebih memilih hukum merokok adalah makruh, bahkan wajib jika memang dengan tidak merokok dipandang ada unsur kemudharatan, hingga haram bila proses membelinya dengan menggunakan harta yang mestinya digunakan nafkah keluarganya. 
Sampai hari ini, kitab Irshad al-Ikhwan li Bayani shurb al-Qahwah wa al-Dukhan masih digunakan dan penulis mendapatkannya dari tokoh buku di lingkungan pondok pesantren “al-Ihsan” Jampes Kediri. Bahkan, kitab ini telah diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit LKiS Yogyakarta tahun 2009 dan cetak ulang tahun 2012. 
Empat kitab yang telah penulis sebutkan adalah kitab yang secara fisik diyakini benar-benar karya Kiai Ihsan Jampes. Tidak salah perlu klarifikasi (tabayyun), bila kemudian ada upaya sebagian pihak dari penerbit Timur Tengah –baik sengaja atau tidak—menghilangkan nama Kiai Ihsan sebagai pengarang, khususnya untuk dalam membajak kitab Siraj al-Talibin sebagai karya orang Arab. Alasannya, kitab-kitab ini setidaknya menjadi aset pesantren sekaligus aset budaya yang menggambarkan tentang pergumulan pesantren dalam pergolakan intelektual Muslim lokal, nasional maupun global. Bukan itu saja, kitab ini sekaligus menggambarkan model pemahaman Islam lokal dari perspektif lokal pula, yaitu perspektif Islam Nusantara.
Namun, setelah menelaah beberapa referensi, penulis menemukan riwayat yang menyebutkan bahwa Kiai Ihsan juga mengarang kitab dalam kajian tafsir yang berjudul Nur al-Ihsan fi Tafsir al-Qur’an. Riwayat ini ditemukan dalam kitab al-‘Aqd al-Farid min Jawahir al-Asanid yang ditulis oleh Syaikh Muhammad ‘Isa al-Fadani al-Makki, salah satu putra Padang yang menjadi Syaikh di Timur Tengah, tepatnya di Dar al-‘Ulum al-Dini Makkah Mukarramah. Riwayat ini lengkapnya berbunyi:

"(Kitab Siraj al-Thalibiin Sharh Minhaj al-‘Abidin) dalam dua jilid. Saya meriwayatkan kitab ini dari penyusunnya; al-‘Allamah, seorang sufi, ahli sanad, dan orang yang bertaqwa, yaitu Kiai Ihsan Ibn ‘Abdullah (Dahlan) ibn Muhammad Saleh ibn ‘Abd al-Rahman Jampes-Ponorogo-Indonesia, dan beberapa kitab karangannya, termasuk kitab Nur al-Ihsan fi Tafsir Al-Qur’an".

Menyikapi riwayat ini, penulis dihadapkan dua pendapat yang pro dan kontra sebab memang secara fisik –edisi cetak—sepanjang penelitian ini ditulis belum ditemukan. Bahkan di antara ahli waris ada yang mengatakan dengan keyakinannya bahwa kitabNur al-Ihsan fi Tafsir Al-Qu'r’an bukanlah karangan Kiai Ihsan, dan ada yang mengatakan bahwa kitab dimungkinkan adalah karangan Kiai Ihsan sebab dia dikenal ‘alim ‘allamah dan menguasai berbagai disiplin keislaman, termasuk sangat mungkin dalam kajian tafsir.

Kalaupun secara fisik tidak ditemukan, tidak bisa langsung divonis ini bukan karya Kiai Ihsan, apalagi yang meriwayatkan adalah Syaikh ‘Isa al-Fadani, seorang ulama yang juga dikenal kealimannya (alim wa ‘allamah), sekaligus seorang musnid, ahli sanad hadits.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, penulis dalam konteks ini bukan memilih mana yang benar dari dua pendapat itu, tapi riwayat Syaikh ‘Isa al-Fadani perlu menjadi pertimbangan semua pihak, khususnya bagi semua kalangan sebab karya tulis sejatinya menggambarkan seluk beluk penulisnya, sekaligus realitas yang melingkupinya. Kalau kitab Nur al-Ihsan fi Tafsir Al-Qur’an benar-benar karya Kiai Ihsan, setidaknya dengan adanya bukti fisik naskahnya, maka berarti beliau telah berkontribusi pula bagi kajian tafsir lokal di Indonesia, bukan sekedar hanya dikenal dalam kajian tasawuf, ilmu falak, dan fiqih.

Itulah beberapa karya Kiai Ihsan yang ditemukan penulis. Karya-karya ini adalah salah satu kontribusi terpenting Kiai Ihsan dalam mengisi ruang dinamika Intelektual pesantren dan Islam di Nusantara, apalagi bila melihat salah satu karyanya Siraj al-Talibin cukup dikenal banyak kalangan bahkan telah mengisi rak perpustakaan baik di Barat maupun Timur, khususnya dalam rak yang menggambarkan tentang tasawuf ghazalian dalam Islam. Akhirnya, warisan itulah yang kelak menjadi amal jariyah bagi Kiai Ihsan sepanjang hidupnya, yang meninggal pada hari senin pukul 12 tanggal 25 Dzul Hijjah 1371 H/ 16 September 1952.

Tasawuf sebagai Gerakan Perdamaian: Kontribusi PraktisKontribusi praktis Kiai Ihsan menarik untuk ditelaah dalam membumikan nilai-nilai tasawuf untuk kehidupan kemanusiaan. Artinya, dengan melihat praktiknya, tasawuf bukan dimaknai secara sempit hanya mengantarkan individu dekat dengan Allah SWT di satu sisi, tapi pada sisi berbeda pelakunya kurang memiliki kepedulian terhadap kondisi sosial masyarakatnya, terlebih dalam rangka mengentaskan segala penyakit sosial yang menimpanya.

Dalam banyak tulisannya, misalnya, Kiai Ihsan mengajak agar mereka yang menapaki jalan tasawuf menuju derajat ma’rifat Allah untuk terus menempatkan pesan perdamaian dan kasih sayang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap perjalanan, bahkan hal ini menjadi keharusan. Tegasnya Kiai Ihsan menyebutkan sebagai berikut:

“Seyogyanya bagi setiap orang agar mengasihi saudaranya untuk menyamai-Nya (sifat-sifatNya, penulis). Ka’ab al-Ahbar berkata: dalam kitab Injil tertulis ”Sebagaimana anda dikasihani, maka niscaya anda mengasihani. Bagaimana mungkin anda mengharapkan kasih sayang dari Allah, sementara anda tidak menebarkan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya”.

Bila dipahami dengan seksama, pernyataan di atas memuat prinsip-prinsip keluhuran dalam konteks kehidupan sosial. Setiap individu yang memiliki komitmen menjaga harmoni dengan Allah melalui ketaatan secara total dan tanpa pamrih, ia berkewajiban untuk terus menjaga harmoni dengan sesama. Hal ini dipahami bahwa menebarkan cinta dan harmoni kepada sesama tidak lain adalah sebagai wujud dalam rangka untuk meniru “keluhuran sifat-sifatNya, yakni sifat al-rahman dan al-rahim.

Konsepsi yang dipahami oleh Kiai Ihsan tentang keharusan bagi pelaku jalan tasawuf untuk terus menjaga harmoni kepada sesama, pada dasarnya juga ditemukan dalam beberapa referensi tasawuf. Ini misalnya komentar imam al-Dasuqi sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Hafid Farghali dalam bukunya al-Tasawwuf wa al-Hayah al-‘Asriyah yang mengatakan sebagai berikut:

“bahwa maqam sufi tidak akan sempurna sehingga ia cinta kepada semua manusia, berbelas kasih kepada mereka serta senantiasa menutupi auratnya. Jika dia mengaku sufi, tapi berseberangan dengan hal itu, maka pengakuan itu dipandang dusta”.

Dari pembacaan ini, maka kurang tepat anggapan sebagai pihak yang mengatakan bahwa tradisi dan praktik bertasawuf menjauhkan pelakunya dari kesadaran bermasyarakat dengan berdalih mengganggu konsentrasi keterikatang terus menerus dengan Allah SWT. Karenanya, menyelesaikan problem kemanusiaan akan memberikan kesadaran agar manusia tidak merasa sombong sehingga muncul empati untuk saling tolong menolong dan mengasihani kepada yang lain. Atas kesadaran ini, ungkapan barang yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya, mendapat momentumnya sebagai medium pengenalan diri setiap orang yang menapaki jalan menuju hakekat wujud, Allah SWT.

Sebagai konsekwensi atas pemahaman di atas, Kiai Ihsan merasa terpanggil untuk terlibat memberikan solusi dalam menghadapi perang melawan penjajah, apalagi setelah resolusi Jihad digelorakan pada tanggal 12 Oktober 1945. Pemahaman bisa dipahami bahwa menariknya adalah kemampuan Kiai Ihsan melakukan internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai tasawuf sehingga tidak saja berorientasi pada pencapaian kesalehan individual, yakni dalam rangka menuju kebahagiaan hakiki (ma’rifat Allah), tapi juga kesalehan sosial dengan menyikapi langsung kehidupan sosial masyarakatnya yang secara umum menghadapi tekanan dari para penjajah. Pola ini yang sebenarnya tersirat sejak awal dalam karya Siraj al-Talibin, yang ia tegaskan bahwa manifestasi dari kesungguhan orang beragama adalah keharusan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan dalam praktik kemanusiaan, misalnya sifat kasih sayang-Nya diaplikasikan sebagai kerangka etik bagi manusia untuk selalu mengutamakan sikap mengasihi kepada sesama.

Dengan terlibat dalam berjihad, setidaknya Kiai Ihsan dan para santri memandang bahwa perlawanan ini, menurut penulis, dalam rangka membumikan kasih sayang kepada masyarakat luas sebab apa yang dilakukan para penjajah telah merusak sendi-sendi kemanusiaan. Dalam konteks ini, perkataan al-Dasuqi sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Hafid Farghali mendapat momentumnya:

“bahwa maqam sufi tidak akan sempurna sehingga ia cinta kepada semua manusia, berbelas kasih kepada mereka serta senantiasa menutupi auratnya. Jika dia mengaku sufi, tapi berseberangan dengan hal itu, maka pengakuan itu dipandang dusta”.

Dengan begitu, maka keterlibatan Kiai Ihsan dalam semangat jihad tidak lain adalah manifestasi dari kesufiannya  sebagai pertanggung-jawaban sosial, sekaligus sebagai individu yang juga hidup dalam lingkungan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh karenanya, ajaran tasawuf yang dipandang–sebagian kalangan—mendidik orang pasif atau statis dan menerima situasi dunia apa adanya sebagai implementasi dari praktik qana’ah atau zuhud, misalnya, nampaknya kurang tepat, untuk tidak mengatakan salah. Bagaimanapun menggapai kebenaran hakiki adalah tujuan semua pelaku tasawuf. Tapi, bila hal ini tidak didukung dengan kesadaran pelakunya untuk berkontribusi dalam menebarkan kemaslahatan kepada sesama, maka usaha apapun yang dilakukan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. dipandang kurang bermakna, untuk tidak mengatakan sia-sia.

Menyitir beberapa keterangan Kiai Ihsan, dengan mengutip hadits Nabi, bahwa nilai-nilai Islam mengajarkan bahwa perkataan baik, menolong yang lemah, dan menghindari hal-hal yang menyakitkan orang lain adalah bagian dari ibadah (baca: sadaqah). Dengan begitu, maka mengerjakan perbuatan itu sama pentingnya dengan mengerjakan sholat, zakat, puasa dan haji. Karenanya, jihad salah satu fungsinya adalah menolong orang yang tertindas, sekaligus menyadarkan penjajah agar tidak melakukan penindasan terus menerus kepada orang lain sebab penindasan adalah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Secara khusus, yang perlu dipahami dalam kajian fiqih bab jihad, jihad adalah bentuk perlawanan fisik terhadap penjajah yang dhalim, yang dalam pemahaman sunni melalui beberapa referensi kitab kuning sebagai fardlu kifayahyakni jika dilakukan oleh satu orang maka yang lain dipandang cukup dan menggugurkan kewajiban atas dirinya. Hal ini, jika musuh tidak berada di tempat domisili terdekat. Tapi bila berada cukup dekat, maka hukum jihad menjadi fardlu ‘ain, yakni setiap individu berkewajiban berjihad melawan penjajah. Dalam konteks ini, Kiai Ihsan menyepakati pandangan tersebut, yang disinggung dalam bukunya manahij al-Imdad, ketika menafsirkan hadits nabi al-Jihad wajib ‘alaikum (jihad adalah wajib bagi kamu). Karenanya, ketika fatwa “Resolusi Jihad” itu ditetapkan oleh Kiai Hasyim, maka dengan tanpa ragu Kiai Ihsan mendukungnya dengan mengirim beberapa santrinya bergabung dengan laskar Hisbullah dan menjadikan pesantren Jampes sebagai basis pelatihan militer.

Komitmen Kiai Ihsan terhadap praktik-praktik bertasawuf di satu sisi dan berfiqih di sisi yang berbeda menunjukkan sikap Kiai Ihsan berada pada kerangka cara berfikir moderat, yaitu selalu paradigma berpikir yang memandang persoalan tidak dalam bingkai ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, yang dalam kerangka teologis menjadi potret ajaran Ahlulssunnah wal Jama’ah. Makanya, berjuang melawan penjajah adalah kewajiban individu secara fiqih, sekaligus secara tasawuf dalam rangka meneguhkan revolusi moral (al-thaurat al-ruhiyyah) agar bangsa ini tidak berada dalam “ketiak” penjajah yang mudharatnya diyakini lebih banyak daripada manfaatnya. Yakni, dengan tunduk kepada penjajah, maka kehidupan masyarakat akan terancam, termasuk tidak ada kebebasan untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya.  

Kaitannya dengan sikap moderat, Kiai Ihsan dalam menyikapi persoalan, dapat dilihat pula dalam berbagai term-term tasawuf yang ditafsirkan. Misalnya, dalam rangka memaknai konsep zuhud, Kiai Ihsan selalu menekankan untuk tidak bertindak ekstrem dengan meninggalkan –bahkan mengharamkan—dunia sebagaimana disebutkan dalam bab terdahulu, begitu juga konsep tawakkal. Tapi, sekalipun ada sebagian orang yang tawakkalnya cukup kuat –seperti Ibrahim al-Khawwas)— sehingga berani mempertaruhkan jiwanya sebagai komitmen atas keyakinannya terhadap kekuasaan Allah SWT, maka tetap saja Kiai Ihsan –mengikuti pandangan Al-Ghazali-- tidak melakukan penuduhan salah, alih-alih mengatakan Ibrahim bodoh dan kafir sebagaimana dituduhkan oleh kelompok salafi seperti Ibn al-Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibn Qayyim, dan lain-lain. 

Alasan yang dikembangkan oleh Kiai Ihsan adalah bahwa prinsip-prinsip intuitif (dzauq) dalam bertasawuf itu bersifat individual-subyektif sehingga kurang tepat  mengeneralisir dengan mengatakan prilaku tawakal Ibrahim salah –apalagi sesat—dengan perspektif keagamaan hitam putih. Karenanya, belajar dari kasus ini, perlu kearifan pemuka agama agar tidak mudah menyalahkan orang lain, hanya karena perbedaan pandangan dalam menafsirkan teks-teks Islam.

Dengan begitu, Kiai Ihsan adalah salah satu model bagaimana Islam Nusanta itu dipahami atau Islam di pahami dari perspektif lokalitas Nusantara, sehingga melahirkan paradigma moderat dan toleran dalam bingkai meneguhkan semangat ketuhanan di satu sisi dan peneguhan nilai-nilai kebajikan kepada sesama di sisi yang berbeda. Pada intinya, Kiai Ihsan mampu mengawinkan semangat spiritualitas dalam praktik-praktik bertasawuf menjadi semangat kecintaannya pada bangsa, Hubbul wathan min al-iman.

Penulis adalah dosen Tasawuf STAI al-Hamidiyah Bangkalan dan Finalis Kompetisi Penulisan Esai, International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) PBNU 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar