Abstrak
Makalah ini memperkenalkan satu terobosan baru dalam pemikiran Islam di
Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan
tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan
praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU
Studies adalah perpaduan hibrid antara tradisi Aswaja, praksis kebangsaan dan
keindonesiaan, dan kritik Poskolonial.
NU Studies hadir dalam konteks kampanye “perang melawan terorisme”,
“benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang
dilancarkan Imperium AS, di satu pihak, pasca 11 September 2001, dan dalam
konteks pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik Indonesia, yang
dilancarkan oleh kelompok-kelompok Islam puritan di pihak lainnya.
Pasca 11 September 2001, segenap produksi pengetahuan dan juga kebenaran
diarahkan pada komunitas Islam untuk mengikuti isu seksi yang didesain dari
Washington. Misalnya bagaimana menjadi Islam moderat, bagaimana menjadi muslim
toleran, pluralis, dan seterusnya. Dan, kalau perlu, umat Islam diharap punya
andil dalam memerangi terorisme dan segenap antek-anteknya.
NU Studies memberi koreksi terhadap desain global tersebut. Ini dengan
menunjukkan misalnya pada posisi para kiai sebagai seorang penerjemah atau
penafsir yang aktif, yang hidup di antara persilangan budaya (cross-roads of
cultures). Di satu sisi, mereka berposisi sebagai penerjemah wacana
ke-NU-an ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan-global. Sementara, pada
sisi lain, mereka juga menerjemahkan wacana kebangsaan dan kemodernan-global ke
dalam konteks ke-NU-an. Posisi para kiai yang “bi-directional”,
penerjemah dua-arah ini, menimba inspirasi dari konsep polyphonic-nya
Edward W. Said dari pengalaman ke-Palestina-annya dalam melakukan kritik
terhadap imperialisme.
Dari posisi dua-arah ini, NU Studies merupakan hasil perjumpaan atau encounter,
yang lahir dari proses ganda “abrogasi” dan “apropriasi”. Seperti cara
komunitas NU memahami demokrasi yang dikaitkan dengan praktik ritual
istigatsah. NU melucuti pengertian demokrasi yang dipakemkan di dunia sana
(abrogasi), lalu mengisinya dengan pemahaman yang mereka miliki sendiri
(apropriasi).
Strategi-strategi translasi dua arah itu yang kemudian ditunjukkan misalnya
dalam paradigma-paradigma fiqih yang umum dikenal dalam tradisi NU: “ketat tapi
longgar”, “sulit masuknya, mudah keluarnya”, “tasharruful imam ala ra’iyyah
manuthun bi-l mashlahah”, “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal
akhdz bil jadid al-ashlah”, dan sebagainya.***
Même quand elles parlent, elles ne sont
pas entendues dans leur différence (Masyarakat-masyarakat yang didiamkan, meskipun
berbicara, tapi tidak akan didengar dalam keperbedaannya).
--- Abdelkebir Khathibi, Maghreb pluriel (1983)
Islamic studies as currently carried out
in the West remains the victim of hegemonic reason.
--- Mohammed Arkoun, ““Islamic Studies: Methodologies”
(1995)
Karena ragam dan banyaknya kajian, barangkali tidak
berlebihan jika dikatakan sekarang telah lahir tunas ilmu baru, ‘Nahdlatologi’
(ilmu tentang Nahdlatul Ulama). Pertanyaan ke dalam segera ditanyakan: apakah
kaum nahdliyin akan terus menerus sekadar menjadi ‘objek’ ilmu?
--- KH. A. Muchith Muzadi, “Dari Ndandakna Awak
sampai Ndandakna Bangsa” (1999).
NU Studies, “Local Knowledge”: Melampaui Positivisasi
Islamic Studies
NU Studies muncul dari sejumlah krisis dalam Islamic Studies. Diantaranya,
Islamic Studies mengadiluhungkan Islam sebagai “universal”. Menyakini
Islam sebagai agama yang didakwahkan untuk segenap umat manusia, tanpa mengenal
tempat dan waktu, adalah berbeda dengan mengkaji Islam sebagai sesuatu yang
“universal”. Yang pertama adalah sebuah keyakinan religius, dan dimanapun
penganut agama akan meyakininya demikian. Sedangkan mengkaji Islam artinya
menempatkan Islam sebagai agama, sejarah, peradaban, kebenaran, dan seterusnya,
dalam standar-standar keilmuan tertentu, yang layak diobyektifikasi dan
diverifikasi, sehingga menjadi sebuah displin keilmuan tersendiri.
Tentu banyak sudah kajian tentang Islamic Studies sebagai sebuah
disiplin keilmuan. Tapi yang kurang ditelaah kemudian adalah soal
“universalisme”-nya ini. Seorang alumnus pascasarjana UIN Jakarta misalnya
menulis tentang “NU liberal”, dan ketika diterbitkan sebagai sebuah buku,
judulnya menjadi “NU Liberal, dari Partikularisme Ahlussunnah ke Universalisme
Islam” (Mizan, 2003). Dan dimana pun, dalam kampus dan ruang-ruang akademik,
Islam universal sudah menjadi bagian dari dogma, yang sudah dianggap bagian
dari ajaran keagamaan. Mohammed Arkoun melacak akar-akar “universalisme” itu ke
dalam nalar hegemonik, ke model nalar Eropa abad 19 yang ekspansionis ke
negara-negara jajahan atas nama “misi pemberadaban” (civilizing mission).2
Mengapa disebut nalar hegemonik? Arkoun menyebutnya berpretensi obyektif,
dan standar bakunya dianggap normatif. Dengan kata lain, standarisasi dan
obyektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Menurut Edward Said, the
universal is always achieved at the expense of the native3 (yang universal
selalu dicapai atas kerugian penduduk pribumi) – merujuk kepada apa yang pernah
dikatakan oleh Fanon, “for the native, objectivity is always directed
against him”.4 Dalam pandangan universalis dan obyektifis ini, selalu
ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general
application), dimana tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat
atau lokus tertentu. Berbicara tentang Islam sebagai obyek kajian yang
dipakemkan di Eropa, diyakini bisa juga berlaku di negeri-negeri jajahan –
terlepas dari soal apakah Islam yang ada di negeri-negeri jajahan itu berbeda
secara praktis dan pengalaman dari yang dipakemkan di seberang sana.
Maka, berbicara tentang nalar hegemoni dalam Islamic Studies adalah
juga berarti berbicara tentang positivisasi Islamic Studies. Kalau Islam
Timur Tengah di belahan Afrika bisa berlaku sama, maka, dalam logika
positivisasi-universalisasi ini, hal serupa juga bisa muncul di Asia Selatan,
dan juga di Asia Tenggara. Esensi maupun substansinya tetap dianggap sama, tak
berubah. Misalnya doktrin H.A.R. Gibb bahwa Islam adalah “satu kesatuan antara
doktrin dan peradaban”. Sehingga positivisasi selalu mengandaikan segalanya
serba “Islami”, mulai dari “Islamic society”, “Islamic art”, “Islamic bank”,
“Islamic economy”, hingga “Islamic food and parfum”!
Oleh karena itu, baik Arkoun maupun Edward Said kemudian menekankan
pentingnya “local knowledge” yang membawa Anda untuk kritis
terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu
mengembalikannya kepada konteks, situasi atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan
atau teori manapun, menurut Said, muncul dari lokus tertentu, dari konteks
lokalitasnya. Ketika bermigrasi keluar, ia kehilangan elastisitasnya; kekuatan
dan maknanya jadi melemah. Dalam bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain
hanya berupa metode-metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh
sejumlah adaptasi, konstruksi baru, intervensi, negosiasi, atau resistensi di
luar dari lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya mengambil alih posisi
pemikiran awal yang dicetuskan. Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal
“teori traveling” atau “kritik sekuler”.5
Jadi, ada dua pengertian tentang “local knowledge” ini dalam konsep
“traveling theory”-nya Said ini: pertama, “local knowledge”
sebagai asumsi primer bahwa semua pengetahuan dan teori terbentuk dan terbatas
dalam lingkupnya masing-masing. Kedua, “local knowledge” bisa juga
berarti pisau analisis-epistemik, sebagai instrumen untuk merangsamg metodologi
baru, sebuah “analisis situasional”.
Kalau saya misalnya menggabungkan kedua unsur “local knowledge” ini
dan berasumsi bahwa Bill Liddle, seorang “Indonesianis” asal Amerika, bukanlah
intelektual universalis, tapi “intelektual” lokal dengan segenap
keterbatasannya (unsur “local knowledge” pertama), maka saya sebetulnya
sudah menempatkan pemikiran Liddle dalam konteks dimana ia dibatasi oleh
segenap konstruk pengetahuan dan kuasa yang ada di sekitarnya. Sehingga
pemikirannya tidak berlaku untuk kita sebagai ornag Indonesia, karena kita
sudah punya tradisi berpikir sendiri tentang politik dan kultur bangsa kita
yang kemudian dari sana kita dialogkan, kita adaptasikan, dan juga kita pakai
untuk melakukan intervensi, negosiasi maupun resistensi terhadap
pikiran-pikiran Liddle. Ini adalah “local knowledge” unsur kedua. “Saya
menyadari betul betapa kuat pengaruh pengalaman pribadi saya sebagai warga
negara Amerika dan warga kota Pittsburgh”, tulis Liddle, “Ketika itu, guru-guru
saya dihantui oleh ketakutan bahwa nilai-nilai serta kehadiran Amerika di dunia
ini akan dimusnahkan oleh kekuatan asing yang totaliter. Kemudian ini
diteruskan di universitas ketika saya dikuliahi oleh dosen-dosen ilmu politik
yang melarikan diri dari negara fasis, komunis atau kedua-duanya”.6
Kalau “local knowledge” ini dipertajam ke dalam Islamic Studies,
maka krisis tersebut akan tampak dengan jelas dalam konteks ini. “local
knowledge” menggarisbawahi dan mencoret universalisme pada saat bersamaan.
Kalau ada sesuatu yang dikatakan universal, maka tentu ada yang dianggap
“tidak-universal” yang mengganggu pembakuan universalitas itu: “tradisional”,
“lokal”, dan juga yang berbau “etnik” dan “komunal”. Seperti halnya studi-studi
tentang transisi demokrasi di Indonesia yang begitu gagap membaca faktor
etnisitas dan kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan “kedaerahan”, wacana
studi-studi Islam juga mengalami kebingungan membaca faktor-faktor lokal
tersebut. Bahkan terkadang analisisnya sangat miskin dalam membaca
persoalan-persoalan identitas etnik serta hubungannya dengan militansi agama.
Biasanya yang dibaca adalah soal potensi konflik dan disintegrasi identitas kesukuan
dan kedaerahan itu. Dan kebingungan itu adalah refleksi dari sebuah krisis.
Yakni, ketika solusi konflik bernuansa agama itu ditemukan melalui “local
wisdom”, yakni kembali ke identitas budaya dan lokalitas, seperti pela
gandong, baku-bae, dsb. Dan bukan malah melalui wacana “agama
universal” atau “Islam universal”. Dengan kata lain, Islamic Studies dengan
“Islam universal”-nya tidak lagi punya arti dalam konteks kehidupan keseharian
masyarakat dalam lingkungan persilangan identitas agama dan etnik; “Islam
universal” hanya bermakna terbatas dalam ruang kelas, dalam teks-teks
akademik.7
Sementara itu, “local knowledge” sebagai pisau analisis-epistemik
ditunjukkan oleh keberadaan NU Studies. Mengapa NU Studies? Bagaimana ia
berhadapan dengan Islamic Studies? Dan mengapa pasca 11 September 2001?
Apakah ini sebuah sektarianisme dan apologi, karena kebetulan yang menulis
makalah ini adalah orang NU, yang dibesarkan dari kultur pesantren?
NU Studies, Identitas Kultural, dan Komunitas
Etik-Epistemik: Tradisi dan Masalah Marwah Bangsa
Kasus 11 September 2001 membangkitkan kembali sesuatu untuk kembali kepada
tradisi, kepada identitas kultural “ke-NU-an”. 11 September 2001 mengarahkan
umat Islam Indonesia untuk menunjukkan kepada diir mereka bahwa proyek
modernisasi di kalangan umat Islam belum selesai, dan kesalahan, sekali lagi,
ditimpakan kepada pikiran-pikiran umat yang belum selesai dan sempurna
kemoderenannya. Mereka dianggap masih terjebak pada pikiran masa lalu yang
fundamentalis atau tradisionalis. Pengulang-ulangan kata “madrasah” atau
“pesantren” di kalangan Muslim kota maupun di media massa internasional, yang
disebut sebagai ajang kaderisasi kelompok-kelompok teroris, mendukung satu
formasi diskursif bahwa modernisasi di kalangan umat Islam belum rampung, atau,
bahwa umat siap belum siap memasuki dunia modern.
Seperti ditunjukan dalam forum USINDO-TAF di Washington DC tentang Islam di
Indonesia modern, 7 Februari 2002 lalu, dimana ada seruan supaya NU dan
Muhammadiyah bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok Islam keras dan
mendukung langkah-langkah Amerika dalam kampanye anti-terorismenya.8 Dengan demikian, dalam konteks Islam pasca 11 September
ini, dalam konteks imperialisme global ini, ada keperluan untuk kembali sebuah
identitas kultural untuk mengoreksi adanya sesuatu yang keliru dalam konstruk
pengetahuan global tentang Islam.9
Koreksi tersebut bisa dilihat dalam forum diskusi di PBNU yang digelar oleh
P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Juli 2005 lalu. Topik
diskusi adalah tentang “the place of tolerance in Islam”, menampilkan
Prof. Khaled Abou el-Fadhl dari AS sebagai pembicara utama. Ada dua hal yang
jadi fokus, “toleransi” dan “Islam”. Yang dimaksud Khaled dengan Islam dalam
diskusi itu tentu bukan pengalaman umat Islam dalam menghayati agama dalam
konteks kebudayaan yang beragam dan dinamis, seperti umat Islam di Mesir,
tempat ia dibesarkan, atau Muslim di AS, dimana ia tinggal sekarang. Yang jadi
acuan adalah Islam sebagai teks. Tepatnya, Islam sebagaimana yang ada dalam
teksnya yang dipakemkan, yakni dalam al-Qur’an. Maka, dalam kerangka “Islam
sebagai teks” inilah, Khaled berupaya mengotak-atik sejumlah ayat dalam
al-Quran, untuk kemudian ditafsirkan sesuai dengan tafsirannya tentang toleransi.
Seperti ayat “laula daf’ullahinnas .....”, dst.
Maka, ketika diskusi berlangsung, saya mengajukan kerangka yang lain dalam
mendekati persoalan toleransi, agar tidak terkesan, bahwa apa yang ditunjukkan
oleh umat Islam hanya sesuatu yang ideal dalam teksnya, bukan dalam pengalaman
hidupnya. Saya ingin tunjukkan apa yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia,
terutama di kalangan NU, dalam menghayati arti toleransi ini. Saya mengatakan,
mereka tidak langsung merujuk kepada al-Quran, tapi ke kitab Fathul Mu’in.
Seperti yang menyebut “daf’ dlarar ma’shumin”. Namun, ketika direspon,
tak disangka, sang profesor langsung merah telinganya, emosional, dengan suara
terangkat, seakan saya mendiktenya tentang apa apa arti merujuk ke kitab kunig,
seakan-akan ia dikesankan tidak ngerti tentang kitab kuning. Tampak,
bahwa Khaled merasa uneasy dan terganggu dengan rujukan kitab kuning itu
dibanding misalnya kalau saya seandainya merujuk ke al-Quran, seperti yang ia
lakukan dengan ilmiah, sebuah bidang dimana ia bisa merasa comfortable.
Karena ia sedang menunjukkan sesuatu yang “berwibawa-ilmiah” dalam studi Islam.
Tapi justru di sinilah masalahnya. Saya kira, ini adalah gambaran dari
konstruk tentang Islam seperti yang di Barat, yang ingin dipahami oleh Barat,
dan juga sesuatu yang diinginkan oleh Barat agar Islam seperti itu. Ini pada
gilirannya memberi kesan kepada umat Islam bahwa Islam seperti itulah yang
mesti ditampilkan, yang dipanggungkan, dalam konteks kemodernannya. Yakni, bisa
dikatakan, staging Islam in its modernness, in its textuality, and in
its fixedness. Bicara tentang studi Islam, dalam konteks fiksasi ini,
berarti berangkat dari asumsi dasar yang dikatakan orisinal dan otentik, dan
juga universal, dan itu adalah teks asalnya pada al-Quran dan Hadis. Sementara
merujuk kepada apa yang dikatakan kitab kuning, bukanlah bercirikan sesuatu
yang modern, universal, otentik dan orisinal. Siapa di antara orang-orang Islam
di Barat atau orang-orang Barat sendiri yang tahu apa itu kitab Fathul Mu’in
misalnya. Tentu tidak akan ada. Di Arab Saudi saja, dimana ada Mekah dan
Madinah, pusat ibadah umat Islam di seluruh dunia, Fathul Mu’in jarang
ditemukan di toko-toko kitab sana. Apatah lagi dalam pengajian-pengajian agama
di mesjid-mesji besar di Mekah dan Madinah.
Barangkali suatu saat nanti pandangan Barat akan mengarah kepada buku ini,
kalau seandainya ada seorang teroris yang tertangkap dan ketahuan menyimpan
buku ini di rumah kontrakannya. Maka, publik Barat pun akan segera membaca dan
menelaah kitab Fathul Mu’in. Bagian-bagian mana misalnya dalam buku itu
yang merupakan rujukan bagi sang teroris dalam melancarkan aksi bom bunuh
dirinya itu. Selama ini, yang ditemukan dalam buku-buku kaum teroris adalah
karya-karya para ulama Wahabi dan Ikhwanul Muslimin. Ini yang banyak dijadikan
rujukan oleh anggota kelompok al-Qaedah maupun yang disebut-sebut dengan
jaringan Jamaah Islamiyah. Kini berkembang sejumlah penerbitan dalam bahasa
Inggris atas karya-karya Ibn Baz dan al-Utsaimin, ulama Wahabi, yang kemudian
menggemparkan publik Barat. Meski demikian, respons atas karya itu cukup
beragam, tergantung posisi seseorang berada. Ada yang menyebut karya-karya itu
tidaklah mencerminkan sesuatu yang universal dari Islam. Ada pula yang melihat
bahwa Islam memang agama kemunduran, seperti dibuktikan dari tulisan-tulisan
ulama Wahabi itu, yang mereka lihat sebagai ikon atau tanda kemunduran. Seperti
fatwa tentang haramnya perempuan mengendarai mobil sendiri.
Ini berbeda kalau yang ditemukan itu adalah al-Quran. Publik Barat akan
mengangkat sekian makna dan tafsir. Sehingga memungkinkan menjinakkan berbagai
bentuk apropriasi dan rekayasa makna. Misalnya, kalau ada seorang teroris atau
fundamentalis Islam yang menyebut jihad dalam al-Quran sebagai pembenaran
teror, maka akan segera dicap bahwa tafsirannya keliru, tidak pluralis dan
tidak modern. Maka, dicarilah tafsir-tafsir yang sesuai dengan hasrat Barat
itu, yaitu tafsir al-Quran yang dikatakan liberal dan modern itu. Misalnya
mencari dalam Islam sesuatu modern-liberal itu, “a close friend” yang
akomodatif terhadap Barat. Ini tentu tidak seperti buku-buku Wahabi atau Fathul
Mu’in yang selalu dianggap problematik, unpredictable, susah
dikendalikan, dan tidak cocok dengan selera Barat yang kosmopolit dan suka
mengotak-atik makna.
Jadi, seperti itulah konstruk Islamic Studies tentang Islam, yang
menurut Arkoun adalah kelanjutan dari nalar hegemonik Eropa abad 19, berhadapan
dengan kitab kuning sebagai local knowledge di kalangan Nahdliyin.
Dengan demikian, NU Studies adalah cara orang-orang NU menulis dirinya
sebagai fa’il, sebagai pelaku, sebagai subyek. NU Studies adalah praktik
teoritis-metodologis dari orang-orang yang mengelak dan melawan kenecisan dan
rasionalitas konsep pengetahuan dan teori, serta berteorisasi, persisnya, dari
situasi diri mereka sebagai orang-orang tradisionalis, orang-orang pesantren,
sebagai bangsa Indonesia dan sebagai masyarakat Dunia Ketiga. Mereka menulis
dari sebuah “lokasi filosofis” (philosophical location), dimana lokasi
tersebut bukan hanya geografis, tapi juga historis, politis, dan epistemologis.
NU Studies adalah sebuah peralihan subyektifitas. Ia adalah perlaihan dari
subyektifitas sebuah komunitas yang selama ini menjadi obyek wacana dan
penelitian, obyek advokasi dan kampanye global, menjadi subyek yang melakukan
sendiri kerja-kerja tafsir dan penelitian, yang melakukan sendiri reclaiming
atas isu-isu lokal, nasional, maupun global. Apa arti menulis-diri?
Menulis diri bukan hanya masalah membangun kembali harga diri atau marwah
sebuah komunitas yang bernama jamaa’ah nahdliyin, yang kini mulai digerogoti
atas nama “perang melawan teroris”, atas nama “toleransi, pluralisme dan
liberalisme”, atau desain global “benturan peradaban”. Menulis diri adalah
invensi atau penemuan kembali arti sebuah komunitas dalam konteks kehadirannya
di sebuh negeri bernama Nusantara. Ia menulis-diri sesuatu yang bangkit (nahdlah),
sebuah cita-cita tentang masyarakat-bangsa dimana para ulama menjadi penerang
dan penunjuk arah yang lebih baik bagi masa depan mereka.
Nun jauh di sana, nahdlah itu muncul ketika sejumlah ulama Sulawesi
di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, berkumpul mendirikan Nahdlatul
Ulama (NU) pada tahun 1932, yang difasilitasi oleh raja Bone, Andi Mappanyukki.
“Jikalau semangat nasionalisme rakyat Bone masih tertidur nyenyak, maka dengan
berdirnya Nahdlatul Ulama di Bone dengan pelopor utamanya para ulama, maka jiwa
nasionalisme mulai berkobar-kobar. Dimana-mana di Nusantara Indonesia tumbuh
berbagai organisasi kebnagsaan maupun keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU)
di Bone, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang
telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah
abad,” demikian penuturan A.M. Hanafie, yang pernah menjadi saksi kehadiran NU
di Bone.10 Kini kata-kata nasionalisme sudah terkesan peyoratif di telinga sejumlah
pejabat dan sejumlah elemen masyarakat. Bahkan ia diidentikkan dengan “balkanisasi”,
yang dianggap memecah-belah seperti yang terjadi di negara Yugoslavia dulu.
Tapi justru di kalangan ulama-lah kata-kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat
menggerakkan semangat mereka untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa
asing. Sepulang dari Mekkah, Kiai Wahab Hasbullah berencana
mendirikan organisasi pemuda di kalangan umat Islam yang bertujuan
menggelorakan semangat nasionalisme. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang
kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga
disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH
Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya.
Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya,
yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air).
Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat
nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi
berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH
Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas
Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah. Sejak itu Nahdlatul
Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk
menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan
belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan
dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair
seperti berikut:
Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan.... Wahai bangsaku, wahai bangsaku... Cinta tanah air
adalah bagian dari iman Cintailah tanah air ini wahai bangsaku Jangan kalian menjadi orang terjajah Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan harus
dibuktikan dengan perbuatan...
Gelora nasionalisme ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945 saat negara Indonesia baru berdiri. Saat itu bangsa kita menghadapi tantangan akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Tentara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat rakyat dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Gelora nasionalisme ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945 saat negara Indonesia baru berdiri. Saat itu bangsa kita menghadapi tantangan akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Tentara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat rakyat dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Dengan demikian, pasca 11 September, segenap tradisi dan kepercayaan NU
ditempatkan dalam sebuah mikroskop, dan dalam pengawasan ketat. Sejumlah
kata-kata civilizing bersilewerang untuk membuatnya mengerti akan nilai dan
harga tradisinya: liberal, pencerahan, kritik tradisi, dsb. Demikian pula,
bersamaan dengan itu, muncul kata oblietring, pembusukan, kalau ternyata mereka
gagal, macam-macam: konservatif, bergeser ke kanan, fundamentalis.11 Mereka ditantang untuk menunjukkan rasionalitas mereka
untuk tujuan-tujuan yang sifatnya instrumental dan ulititarian. Rasionalisasi
diarahkan sebagai utilisasi atau kebermanfaatan untuk hal-hal yang sifatnya
kasuistis. Tradisi sebagai sebuah kesatuan antara sejarah, komunitas,
kebenaran, pun terkoyak. Yang ada adalah kompartementalisasi, sekatisasi atau kotakisasi.
Tradisi ditempatkan dalam test modernitas, seperti dalam dikotomi
publik-privat, moderat-fundamentalis, hingga jumud-progresif.
Seperti ditunjukkan dalam buku saya, Islam Pasca Kolonial (2005),
masuknya kolonialisme dan modernitas mengubah lanskap sosial komunitas
tradisi(onal) NU. Dengan diperkenalkannya sekat privat dan publik, termasuk
hukum privat dan hukum publik/sipil, agama mulai dipisahkan dari adat, budaya
dengan politik. Demikian pula tradisi mulai dipisahkan dari masyarakat dan kehidupan
sehari-hari. Tradisi kemudian dimodifikasi sebagai sebuah barang: sebagai benda
seni, artefak atau sebagai sesuatu yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.
Sehingga munculah sebutan Islam sebagai High Tradition, sebagai Tradisi Agung,
sebuah Kehalusan dan juga Kemurnian. Tradisi yang dulu mengakar dalam
masyarakat kebanyakan, mulai tercerabut dari lingkungan dimana ia tumbuh.
Orang-orang yang memproduksi tradisi sebagai artefak atau Kemurnian, mulai
mendapat tempat istimewa dalam spektrum dan wawasan kolonial-modernis.
Komodifikiasi ini memungkinkan tradisi beralih dari lokusnya dalam pesantren
dan komunitas, untuk selanjutnya dipindahtangankan menuju ruang baru yang
bernama museum, galeri, atau dalam narasi besar tentang “pembaruan” atau
“purifikasi”.
Kemunculan berbagai disiplin keilmuan, seperti yang dirintis oleh
kajian-kajian etnolog/indolog dan orientalis, memperkenalkan paradigma baru
dalam melihat Islam, tradisi dan komunitas. Dengan bantuan kelompok-kelompok
Wahabi dan kelompok reformis seperti Muhammad Abduh, mereka memperkenalkan
bagaimana cara menjadi Islam yang benar, dan juga bagaimana menjadi komunitas
beragama yang mengambil jarak dari realitas tradisi dan kulturnya yang dianggap
tidak asli dan tidak murni. Artinya, mereka diajarkan bagaimana menjadi
obyektif dan representatif – yang kemudian dibakukan menjadi Islamic studies. Sementara tradisi sebagai artefak juga mulai diperkenalkan dengan sebuah
medium baru yang bernama pasar. Tradisi di sini bukan hanay ebrarti
barang/artefak yang bisa dijamah, tapi juga artefak budaya. Dalam konteks
tradisi sebagai artefak kebudayaan ini, individu menjadi penting dibandingkan
komunitas. Pembaru atau mujaddid menjadi penting dari pada sebutan ulama.
Tulisan atau tradisi yang ditulis lebih terhormat daripada tradisi yang
dilisankan. Mobilisasi tradisi ini antara satu individu ke individu, dari satu
tulisan ke tulsian lainnya, dari satu kitab putih ke kitab putih lainnya, pada
tahap selanjutnya memungkinkan munculnya hirarki baru. Konsep spesialisasi atau
sekat-sekat diperkenalkan. Orang-orang yang menggeluti fiqih nisa, misalnya,
berbeda dengan yang menggeluti fiqih siyasah, lain pula yang menggeluti fiqih
jinayah atau fiqih muamalah. Bahkan kini pun semuanya menjadi fiqih, dengan
sub-sub cabangnya masing-masing: fiqih aborsi, fiqih terorisme, fiqih korupsi,
fiqih pluralisme, fiqih demokrasi, dan seterusnya. Dari sinilah lahir generasi
baru yang melihat bahwa yang lebih penting adalah pembaruan, liberalisme atau
menjadi progresif, dan bukan populismenya. Soalnya, tradisi sebagai
tradisionalisme dianggap sebagai cacat sendiri, yang harus disingkirkan. Di
sini yang dipentingkan adalah pencerahan atas tradisi, kritik tradisi, atau
gugatan terhadap tradisi. Yang baik itu adalah tradisi yang sudah mengalami overhaul,
turun mesin, sebelum berdaya gna untuk konteks masyarakat modern.
Seperti ini pula yang ditunjukkan oleh sebuah survey (bukan
penelitian!) dari PPIM-UIN Jakarta beberapa waktu lalu. Pada bagian
rekomendasi, disebutkan:
“Dalam konteks
keagamaan di Indonesia, penting untuk mengembangkan pemahaman keagamaan yang
plural, tidak harfiyah, dan kontekstual demi terciptanya Indonesia yang damai
tanpa kekerasan.
Pendidikan Islam seyogyanya menjadi aspek yang menjadi
perhatian bersama, untuk mengurangi budaya dan tindakan kekerasan. Ini
didasarkan pertimbangan bahwa tidak sedikit sumber-sumber pemahaman Islam
seperti kitab-kitab kuning di pesantren yang banyak mendukung tindakan
kekerasan sebagaimana telah dijelaskan di atas.”12
Penelitian yang waktu itu didanai Kedutaan Amerika Serikat ini juga
mengungkap adanya korelasi positif antara perilaku kekerasan dan jenis
pendidikan. Pendidikan madrasah atau pesantren disebut “berkontribusi paling
besar terhadap perilaku kekerasan keagamaan”.13
Dalam kajian-kajian Poskolonial, tradisi bukan hanya sesuatu yang naratif,
simbolik, atau yang kuno. Tapi juga – yang lebih penting -- sesuatu yang
teatrikal, alegorikal, dan juga kontemporer.14 Dalam imajinasi kaum Nahdliyin, tradisi selalu diarahkan
pada dua konteks seklaigus, “al-muhafazhah alal qadim ash-shalih” dan “al-akhdz
bil jadid al-ashlah”. Tradisi, singkatnya, adalah local knowledge
mereka.
Genealogi NU Studies: NU Kultural, Abdurrahman Wahid
Kultural, Post-Tradisionalisme
NU Studies tidaklah lahir begitu saja. Sebelumnya ia hadir dengan sejumlah
nama: “NU Kultural”, “Abdurrahman Wahid kultural”, hingga
“post-tradisionalisme”. Masing-masing dengan caranya sendiri, mengukuhkan suara
lain dimana NU dengan tradisi Aswaja-nya hadir sebagai sebuah strategi
kultural.
“NU Kultural” bukan sekedar luapan
emosional kembali ke Khittah 1926 untuk meninggalkan kebosanan hiruk-pikuk
politik era 1980-an. Oleh Abdurrahman Wahid, ia dipahami sebagai sebuah
“pembaruan” dan “kebangsaan”. “Tujuan NU adalah transformasi sosial secara
lebih paripurna dan lebih mendasar. Sasarannya adalah kelangsungan proses
demokratisasi kehidupan bangsa kita secara lebih menyeluruh", demikian
Wahid dalam satu tulisannya pada 1987.15 Meski ada pula yang mencibir, kembali ke Khittah waktu
itu berarti “NU mengurus akuntansi, peternakan, perbengkelan dan kerajinan atau
membuka kursus bahasa Inggris”. Pilar pembaruan waktu itu dipelopori oleh KH
Ahmad Siddiq dengan konsep “tajdid” dan “Khuthath Nahdliyah”-nya
(semacam “garis-garis besar haluan NU”). Sementara pilar kebangsaan memperlebar
pemaknaan ke-NU-an sebagai bagian dari segenap komponen kebangsaan. Artinya,
dalam pandangan kebangsaan ini, ke-NU-an dan ke-Islam-an bukanlah tandingan
atau alternatif terhadap bangsa, tapi bagian dari komponennya yang saling
menguatkan. Prinsip “ukhuwah wathaniyah” (persaudaraan kebangsaan) yang
melampaui “ukhuwah Islamiyah”, seperti diputuskan dalam Muktamar NU di
Situbondo pada 1984, memperoleh momentumnya dalam konteks kebangsaan ini.
Dengan demikian, sebutan NU pada “NU Kultural” tidak lagi menunjukkan
sebuah komunitas yang selama ini dianggap tradisional. NU Kultural adalah
sebuah civil society, masyarakat sipil. Ia hadir di tahun 1990-an,
ketika santrinisasi birokrasi atau Islamisasi politik sedang gencar-gencarnya
diarak di panggung politik nasional. Kebangsaan pun dimaknai secara eksklusif
sebagai keislaman. Maka, saat itu, menjadi NU berarti sebuah oposisi, dan
segenap desain politisasi Islam atau Islamisasi politik masa itu terganjal oleh
oposisi ini. Sementara baju “kultural” mengandaikan sebuah koreksi bersama atas
konsep kebangsaan yang saat itu dikatakan mengarah kepada “primordialisme dan
sektarianisme”. “The last bastion of civil society”, demikian sebutan
yang dilekatkan Daniel Dhakidae tentang NU era 1990-an yang bergerak sebagai
oposisi saat itu.16 Dari sini sebutan “kultural” sebagai empowering civil
society vis-a-vis state kian dimantapkan setelah Muhammad AS. Hikam muncul
dengan idenya “NU sebagai Civil Society.”17 Tapi justru pada diri Abdurrahman Wahid-lah simbol
oposisi dan masyarakat sipil era 1990-an itu melekat. Seperti ditunjukkan pada
pembentukan Forum Demokrasi (Fordem), dalam Muktamar NU di Cipasung tahun 1994
hingga dalam kasus 27 Juli 1996 yang terkenal dengan jargon “people’s power”-nya.
Dengan demikian, NU Studies adalah juga sebuah rediscovery atau
penemuan kembali “Abdurrahman Wahid kultural”. Yang terakhir ini biasa
diartikan secara ketat sebagai warisan pikiran-pikiran Abdurrahman Wahid
“pra-istana”. Yakni sebuah khazanah pemikiran sebelum Abdurrahman Wahid
mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sebelum menjabat presiden
keempat Republik Indonesia sejak 1999 hingga 2001. Saat itu, sebagaimana gencar
dikampanyekan oleh kalangan aktivis muda NU, Abdurrahman Wahid kultural adalah
sebuah eksperimen kontemporer dalam gerakan kultural dan transformasi sosial di
Indonesia. Selain sebagai sebuah wacana, “Abdurrahman Wahid kultural” adalah
juga sebuah perlawanan, pada tataran wacana maupun pada level praksis, terhadap
bentuk-bentuk hegemoni yang dibangun oleh negara dan kapital, termasuk
mesin-mesin politik “totalitas” maupun lembaga-lembaga agama resmi.
Namun demikian, ada bahaya tersendiri kalau hanya menfokuskan diri pada
pikiran-pikiran Abdurrahman Wahid pra-istana. Karena akan mengabaikan sejumlah
isu krusial. Seperti halnya NU Kultural, Abdurrahman Wahid kultural juga lahir
di tengah euforia berhasilnya elemen-elemen masyarakat sipil memeloroti
kekuasaan otoriter negara. Negara, dengan aparat militernya, adalah tersangka
utama dari sekian permasalahan dan krisis yang dihadapi bangsa ini. Gugatan
terhadap negara ini pun mempengaruhi penilaian kelompok masyarakat sipil
terhadap Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Dan, memang, elemen-elemen civil
society dalam NU digiring untuk tidak mempercayai negara, dan untuk
meragukan efektifitas negara dalam mengatasi masalah-masalah masyarakat dan
kebangsaan. Sehingga pernah muncul celetukan di kalangan aktifis muda NU saat
itu, “Apakah Gus Dur sebuah rezim?!”
Padahal ada sejumlah agenda global, yang mungkin tidak nampak di mata
publik, tapi menyimpan sesuatu yang sangat strategis, dalam relasi antara
kebangsaan dan rezim Neo-liberalisme yang saat itu kian menggurita. Dan
Abdurrahman Wahid – sebagai presiden RI ke-4 - hadir justru untuk memotong
jari-jari gurita Neo-liberalisme tersebut dengan merancang poros baru yang
menakutkan AS saat itu: Indonesia-India-Cina. Di saat bersamaan, buku Hasyim
Wahid, saudara kandung Abdurrahman Wahid, juga muncul dengan judul Telikungan
Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (LKiS, 1999). Pada
waktu itulah isu globalisasi mencuat ke permukaan di lingkungan aktifis anak
muda NU.
Saat itu, mereka menyadari bahwa ideologi “civil society” dan
program “civic education” yang didiktekan sejumlah lembaga AS di
Indonesia, diarahkan untuk mengurangi kewenangan negara, dan mengembalikan
semuanya kepada masyarakat. Program-program tersebut mengkampanyekan negara
yang minimalis, dengan memperkuat elemen-elemen masyarakat -- katanya. Tapi
sebenarnya, dalam pandangan anak-anak muda NU, ini adalah jebakan
Neo-liberalisme. Masyarakat diajak percaya pada ketidakbecusan dan bobroknya
negara (mulai dari militerisasi, korupsi, gurita birokrasi, hingga monopoli
ekonomi negara), untuk kemudian diarahkan pada pentingnya de-regulasi,
de-sentralisasi, swastanisasi dan juga re-strukturisasi. Penguasaan negara
terhadap sumber-sumber ekonomi harus ditata-ulang. Korupsi negara harus
diberantas habis. Dan negara diminta untuk melepaskan segenap kegiatan
ekonominya, seperti di BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Dari sini mengalir
sejumlah buku dan tulisan orang-orang luar tentang “reformasi” yang dikaitkan
dengan pemelorotan fungsi dan wewenang negara tersebut. Mereka hanya menekankan
dinamika internal dalam negeri Indonesia, misalnya faktor rezim Orde Baru. Tapi
mengabaikan permainan global yang sangat krusial dalam mengarahkan arah
reformasi itu.18
Dengan kata lain, dalam konteks kampanye “civil society”, “civic
education” dan “reformasi” itu, orientasi negara pada kesejahteraan (atau
dikenal dengan welfare state) digerogoti secara sistematis. “Pasar
bebas” pun menjadi kata kunci baru dalam “reformasi” yang mengendalikan
permainan kekuasaan dan politik. Ideologi “pasar bebas” membebaskan kegiatan
swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah, walaupun kegiatan swasta
tersebut membawa dampak yang sangat buruk terhadap rakyat dan kehidupan
kemasyarakatan. Hal ini terlihat dari gencarnya tekanan swasta terhadap
pemerintah untuk memperlemah serikat buruh serta penurunan upah buruh. Pihak
swasta pun bebas membeli tanah seluas-luasnya dan selama-lamanya. Selain itu
ideologi “pasar bebas” juga mengurangi biaya untuk fasilitas dan pembangunan
umum. Umpamanya dana untuk pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, dan
pembangungan daerah secara umum harus dikurangi.
Konsekuensinya, sektor swasta (privat sector) akan menggantikan
fungsi negara. Di sinilah perusahaan kakap-multinasional, didominasi perusahaan
Amerika, masuk mengambil alih sektor bisnis yang sebelumnya dikuasai negara.
Dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada
rakyat, maka perusahaan milik negara harus dijual. Termasuk penjualan
jenis-jenis usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan
air, listrik, sekolah, rumah sakit, minyak bumi, bank dan perkereta-apian.
Sektor-sektor ini memang perlu ditingkatkan pelayanannya kepada rakyat, namun
bukan berarti bahwa perusahaan negara (BUMN) tersebut harus dijual kepada pihak
swasta. Perusahaan milik negara yang sudah berada di tangan swasta, akhirnya
juga mengalami kenaikan ongkos dan biaya yang harus dibayar oleh rakyat. Dan
keuntungan atas kenaikan ongkos dan biaya itu hanya diperoleh oleh beberapa
orang saja. Seperti dalam kasus kenaikan harga BBM belakangan ini. Akibatnya
kemudian, karena mulai kekurangan dana, bantuan negara untuk orang-orang paling
miskin pun harus dicabut. Orang-orang miskin ini dipaksa untuk mengatasi
sendiri masalah kesehatan, pendidikan, dan kekurangan pangan yang mereka alami.
Bahkan, jumlah orang miskin pun bertambah berkat ideologi pasar bebas ala
Neo-liberalisme ini. Dan tidak heran banyak warga negara kita yang mengalami
busung lapar.
Dari sinilah kehadiran Abdurrahman Wahid sebagai kepala negara membatasi
gurita Neo-liberalisme tersebut – tapi tentu dengan resiko ia dilengserkan
sejak dini karena ketidaksukaan negara-negara imperialis terhadapnya. Dan dari
situ pula kemudian alasan mengapa sebutan post-tradisionalisme sebagai sebuah
“ideologi” hadir di kalangan anak muda NU sejak 2001. Ideologi ini yang
kemudian diperhadapan pada tataran wacana dengan “Islam liberal” yang memang
pro-kapital, kampiun Neo-liberal, dan pro-“kenaikan harga BBM”. Mengapa pada
tataran wacana? Soalnya perjuangan di tingkat politik-kenegaraan, mengalami
pergeseran sejak Abdurrahman Wahid dilengserkan dari posisinya sebagai
presiden. Dan kini perjuangan pun beralih menjadi gerakan sosial dan kultural,
ke level grass-roots.
Walau demikian, perkembangannya kini, “Abdurrahman Wahid kultural” mulai
mengalami penjinakan. Abdurrahman Wahid pun dikotak-kotakkan, dan di-overhaul-kan.
Ia dipakemkan oleh Greg Barton, sebagai pelanjut gerbong “liberalisme” dan
“neo-modernisme” Nurcholish Madjid, seperti yang ia tulis tentang biografinya
yang diandaikan “authorized”.19 Dan dalam kasus kontroversi Rancangan Undang-undang
Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang lalu, Abdurrahman Wahid yang
muncul bukan lagi Abdurrahman Wahid kultural, yang nasionalis, yang pernah
hadir melawan dominasi kapitalisme dan Neo-liberalisme. Tapi justru
“Abdurrahman Wahid pembela Inul”. Malah, muncul tandingannya, dari Adian
Husaini dan Hartono Ahmad Jaiz yang menulis tentang “Abdurrahman Wahid menghina
al-Quran” – sebuah pembodohan lain dari desain kapital global.
NU Studies, Metodologi: Aswaja sebagai Translasi Dua-Arah
dan Strategi Kultural Pengetahuan Subaltern
Adakah sesuatu yang disebut “teori dan pengetahuan NU”? NU Studies, tentu,
bukanlah sesuatu yang mirip dengan judul buku Harun Nasution yang terkenal itu,
“NU Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. NU Studies bukan sekedar masalah
teologis, yang biasa berkutat dengan masalah-masalah khilafiyah atau soal-soal
perebutan pemaknaan atas Khittah 1926. Atau soal-soal yang biasa digeluti kaum
sarungan – sebutan sinis orang-orang luar terhadap NU. NU Studies, seperti saya
ungkap di atas, adalah sebuah persoalan “pergeseran subyektifitas”. Coba Anda
bayangkan, seorang peneliti dari universitas terkemuka di AS atau Eropa, datang
ke pesantren, menemui sejumlah santri, kiai dan pengurus NU, melakukan
wawancara, lalu mengambil kesimpulan tentang sesuatu yang dikatakan khas NU.
Kesan apa yang muncul dari hasil penelitian semacam ini? NU berbicara nanti
setelah direpresentasikan oleh sang peneliti. Orang-orang bisa mengenal
suara dan identitas NU, setelah keluar melalui otoritas sang peneliti yang
dianggap punya kapasitas “ilmiah” dan “obyektif”.
Dan, memang, selama ini, karya-karya penulis berkulit putih dari Barat
sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dari para pelajar, mahasiswa
dan para peneliti dalam kerja-kerja konstruksi ke-NU-an. Hampir setiap saat
sejumlah peneliti dari negara-negara Barat yang kaya datang ke sini untuk
mengenal lebih jauh “makhluk” apakah gerangan NU itu, termasuk kaitannya dengan
sejumlah isu atau sistem politik dan kebudayaan. Apalagi, kini isu seksinya
adalah NU dan hubungannya dengan terorisme. Dengan kian membludaknya berbagai
lembaga keterpelajaran dan akademik yang menulis tentang NU, posisi
subyektifitas NU sebagai “obyek pengetahuan”, dengan demikian, kian diperdalam.
Dalam konstruksi ilmiah nan obyektif ini, NU bukanlah lokus produksi
pengetahuan. NU hanyalah penerima yang pasif atau sebuah situs tes atau uji
ilmiah bagi teori-teori pengetahuan yang datang dari Barat. Artinya, NU
ditempatkan hanya sebagai “informan”, dan bukan sebagai “peneliti”. Kehadiran
NU dalam konteks ini hanya untuk mencukupkan dirinya sebatas sebagai pemberi
informasi dan penyedia data-data yang diperlukan. Sementara peneliti bertugas
mengolah informasi dan data-data tersebut untuk kemudian dipajang dalam kemegahan
“museum ilmiah” kesarjanaan Barat. Seperti halnya konstruksi mereka tentang
“Jawa”, “La Galigo” atau “suku-suku headhunting Borneo”.
Maka, NU Studies adalah konstruksi tentang subyektifitas NU sebagai
peneliti, yakni NU sebagai subyek pengetahuan. Tapi, tentu ada yang bertanya,
seperti saya singgung di atas, apakah ada yang dinamakan “teori atau
pengetahuan NU”? Apakah ada dalam NU risalah filsafat atau teori-teori ilmiah
tentang demokrasi dan civil society misalnya? Apakah NU melahirkan
sejumlah doktor dan profesor yang standar keilmuannya diakui dunia?
NU Studies, meminjam kalimat Walter Mignolo, subalternis asal Argentina,
dalam konteks gerakan komunitas Zapatista, adalah “project of
inter-connections from subaltern perspective and beyond the managerial power
and monotopic inspiration of any abstract universal”.20 Tentang pengetahuan subaltern ini, saya ingin
menunjukkan konteks global dari perlawanan komunitas yang dipinggikan selama
ini dalam arus kolonisasi dan modernisasi. Tahun lalu, INSIST Yogyakarta
menerbitkan versi terjemahan buku Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing
Methodologies (1999).21 Di sini ia menunjukkan satu metode penelitian dan juga
suatu agenda penelitian dimana komunitas Maori menjadi subyek peneliti.
Bagaimana misalnya komunitas Maori asal Selandia Baru ini meneliti “kedatangan”
orang-orang berkulit putih Australia dan Selandia Baru yang menginginkan tanah
dan kekayaan mereka.
Kongkretisasi dari pengetahuan subaltern itu tampak pada diri sejumlah kiai
NU, seperti Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Sahal atau Abdurrahman Wahid. Mereka
bukanlah murid (apprentice) dari seorang profesor atau guru besar
manapun di lingkungan akademik Barat. Mereka lahir dari pergumulan penamaan atas
sesuatu yang merupakan “milik sendiri”. Dan itu ditunjukkan misalnya oleh
Abdurrahman Wahid dalam bukunya Kiai Nyentrik Membela Pemerintah.22 Apa yang ditulis Abdurrahman Wahid tentang potret
sejumlah kiai ini bukan sekedar pantulan tentang “apa yang sebenarnya” NU.
Bahasa mereka bukanlah representasional, tidak berpretensi mewakili kenyataan
NU. Bahasa yang dipakai tidak lagi berfungsi sebagai cermin alam atau mirror
of nature, yang merepesentasikan NU “yang sebenarnya”. Bahasa-nya NU adalah
sebuah tindakan subversif, sesuatu yang “melanggar batas”. Guyonan ala kiai,
plesetan-plesetan bahasa ala pesantren, atau kepolosan berbahasa cara
orang-orang NU asal Madura, adalah sekian bentuk bahasa “pragmatis” -- dalam
pengertian semiotika -- yang subversif, dan tidak mewakili realitas seutuhnya.
Para kiai yang disebut “nyentrik” dalam tulisan Wahid itu adalah tanda dari
“pelanggaran batas” itu. Dengan kata lain, potret kiai itu bukan seperti yang
digambarkan secara eksotik di kalangan antropolog dan politisi modernis sebagai
“kelompok sarungan”, yang dengan sandal bakiaknya ngurusin tahlilan dan kenduren.
Coba diperhatikan, para kiai ini menunjukkan dirinya bukan seperti yang
disebut Geertz sebagai “cultural broker”, “makelar budaya” yang pasif.23 Konsep Geertz ini pas untuk para birokrat Orde Baru dulu
yang meminta para kiai menjadi “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah”
dari program-program pembangunan, seperti KB (Keluarga Berencana) atau dalam
program “Golkarisasi” pesantren. Sebaliknya, posisi para kiai mirip seorang
penerjemah atau penafsir yang aktif, yang hidup di antara persilangan budaya (cross-roads
of cultures). Di satu sisi, mereka berposisi sebagai penerjemah wacana
ke-NU-an ke dalam konteks kebangsaan dan kemodernan. Sementara, pada sisi lain,
mereka juga menerjemahkan wacana kebangsaan dan kemodernan ke dalam konteks
ke-NU-an.
Biasanya, kerja-kerja translasi atau penerjemahan ini secara ideologis unidirectional,
monolog, bersifat “satu-arah”. Seperti yang kita temukan kini dalam himbauan
dari pemilik kapital global agar para kiai menjadi “penerjemah yang baik” dari
program-program Amerika tentang “anti-terorisme” atau “Islam moderat-liberal”.
Namun demikian, posisi para kiai sebagai penerjemah ini adalah “bi-directional”,
dua-arah -- atau polyphonic dalam bahasa Edward Said seperti dikemukakan
di atas. Para kiai tidaklah berpretensi membuat NU menjadi tunggal, misalnya
menjadi modern, membuatnya “sadar sekolah” seratus persen atau melek-profesional.
Ini dibuktikan misalnya dari keengganan Abdurrahman Wahid menerima tawaran
Nakamura untuk menjadi pengajar di sebuah universitas bergengsi di Jepang di
sela-sela Muktamar NU di Cipasung 1994. Artinya, posisi penerjemah ganda dan
dua-arah ini berada dalam momen transisional, exhilarating sekaligus disturbing,
destruction tapi juga sebuah creativity. Sebagaimana ditunjukkan
dalam studi-studi Poskolonial, posisi penerjemah dan penafsir adalah ambigu
tapi subversif.24 Jadi, dalam konteks persilangan budaya atau pelanggaraan
batas-batas ini, jangan harap Anda akan menemukan “sesuatu yang riil” dan “yang
benar” tentang NU yang mudah Anda paketkan untuk kepentingan kampanye
“anti-terorisme” atau mobilisasi “Islam liberal-moderat” misalnya.
Posisi penerjemah ganda dan dua-arah ini ditampilkan misalnya oleh seorang
kiai nyentrik, seperti Gus Miek. Pada siang hari sang kiai melayani umat dalam
ritual sema’an (bersama-sama mendengarkan bacaan al-Quran oleh para
penghafal), namun pada malam harinya “dugem” – dunia gemerlap malam – adalah
hidupnya. “Baru belakangan orang menyadari, bahwa Gus Miek menempuh dua pola
kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam
rutinitas semaan, dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena
dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop, dan
‘arena persinggahan perkampungan orang-orang tuna susila”, tulis Wahid.25 Apakah ini sebuah kontradiksi? “Ternyata tidak,” lanjut
Wahid,
“karena di kedua tempat itu ia berperan
sama. Memberi kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada
mereka yang putus asa, penghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang
lemah dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai
semaan, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elite
lainnya, atau pun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan
suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama.
Manusia mempunyai potensi untuk memperbaiki keadaannya sendiri”.26
Posisi-posisi seperti inilah yang tergambar dalam potret para kiai dalam
buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Seperti ditunjukkan pada diri
Kiai Muchit, seorang kiai tipe “ulama-intelek”, pada diri Kiai Wahab Chasbullah
dengan argumen fiqihnya “sulit masuknya, mudah keluarnya” waktu merespons
gagasan Soekarno tentang DPR-GR di awal 1960-an, atau siasat-siasat kultural
Kiai Ali dan Kiai Razaq menjawab tantangan zamannya.27
Translasi dua-arah yang dimainkan poara kiai ini dimungkinkan oleh konsep
kosmologi yang mereka anut. Yaitu pandangan-dunia Aswaja (singkatan dari
Ahlussunnah Waljamaah). Tradisi Aswaja memungkinkan warga NU melihat segala
sesuatu secara simbang, dua-arah, harmonis, dan dari berbagai tepian. Aswaja
mencakup aspek aqidah (teologi), syariat dan tasawuf (akhlaq,
etika). Mengambil satu aspek saja dan mengabaikan aspek lainnya, jelas akan
merusak tatanan kosmis yang seimbang dan harmonis ini. Walaupun ada beberapa
kekurangan sejak dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi,
namun pandangan doktrinal-moderat seperti inilah yang dianggap langgeng dan
abadi oleh para ulama NU.
Terkait di sini adalah pandangan tentang keseimbangan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Seperti dalam tulisannya, “Ustadz yang Hidup dalam Dua
Dunia”, terbit pertama kali dimuat di Majalah Tempo tahun 1981, Wahid
menulis tentang filosofi seorang kiai muda asal Betawi: membedakan hidup di
dunia dari hidup di akhirat, tapi meletakkan keduanya dalam jalur dan kadar
yang sama.
“Dunia ini persiapan untuk kehidupan
akhirat kelak, kata sang ustadz sewaktu mengaji di Ciganjur. Kehidujpan akhirat
sangat tergantung pada kualitas hidup di dunia: kalau bodoh, melarat dan
terbelakang, tidak banyak yang dapat diperbuat di dunia ini untuk kepentingan
akhirat kelak. Kalau tidak kuat ekonominya, tidak mungkin kuat menunaikan
ibadah haji, padahal ibadah haji adalah persiapan lebih sempurna lagi untuk
kepentingan kehidupan akhirat itu. Kehidupan bahagia di akhirat berkaitan erat
dengan kebahagiaan hidup di dunia pula, karena kebahagiaan dunia adalah bagian
dari kehidupan akhirat.”28
Ini yang kemudian ditulis oleh Abdurrahman Wahid beberapa tahun kemudian
dalam satu tulisannya di jurnal Prisma:
“Inti dari tradisi keilmuan yang dianut NU
adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak
berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya
sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Yang paling disukai
di lingkungan NU adalah ungkapan berikut: "Hidup dunia sangatlah penting
kalau dijadikan persiapan untuk kebahagiaan akhirat, dan akan kehilangan
artinya jika tidak diperlakukan seperti itu". Perpautan dimensi duniawi
dan ukhrowi dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di
lingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan blatant
yang timbul dari proses modernisasi. Dari tradisi keilmuagamaan seperti itu
sudah tentu logis kalau lalu muncul pandangan kemasyarakatan yang tidak
bercorak "hitam-putih". Perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi
dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan
dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan
dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan.
Hal ini sudah tentu ada implikasinya sendiri kepada pandangan kenegaraan
yang dianut warga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmuagamaannya.
Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu
yang tidak boleh ditawar lagi. Eksisitensi negara mengharuskan adanya ketaatan
kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan
dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan
atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam
sistem pemerintahan.”29
Jadi, dalam proses translasi dua-arah ini, NU menyerap berbagai aliran
sungai, segenap bau dan kotoran yang ada di kedua tepinya, tapi pada saat
bersamaan airnya tetap segar untuk diminum. Karena sumber mata airnya tidak
pernah keruh. Pada poin inilah kelahiran NU, posisi para kiai sebagai
penerjemah, dan juga kemunculan Abdurrahman Wahid,30 adalah sebuah proses abrogasi, dan apropriasi sekaligus.
Dengan demikian, pengetahuan NU adalah hasil dari sebuah perjumpaan atau encounter,
yang lahir dari proses ganda “abrogasi” dan “apropriasi”. Seperti cara NU
memahami demokrasi yang dikaitkan dengan praktik ritual istigatsah. NU melucuti
pengertian demokrasi yang dipakemkan di dunia sana (abrogasi), lalu mengisinya
dengan pemahaman yang mereka miliki sendiri (apropriasi).31
Strategi-strategi translasi dua arah itu yang kemudian ditunjukkan misalnya
dalam paradigma-paradigma fiqih yang umum dikenal dalam tradisi NU: “ketat tapi
longgar”, “sulit masuknya, mudah keluarnya”, “tasharruful imam ala ra’iyyah
manuthun bi-l mashlahah”, “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal
akhdz bil jadid al-ashlah”, dan sebagainya.32
Translasi dua arah ini pula yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari dengan NU-nya,
Kiai Wahab Hasbullah dengan Tasjwiroel Afkar-nya,33 hingga Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Sahal dan Abdurrahman Wahid.
Mereka menulis, dan menulis-balik. Tentu, “menulis” tidaklah dipahami seperti
dalam dunia anak sekolah tentang “pelajaran karang-mengarang”, “menulis cerita”
atau “menulis artikel atau kolom”. Menulis di sini mengambil pandangan yang
menyatakan bahwa bahasa (dalam arti luas) bukan hanya soal “world-disclosing”,
tapi juga “world-constituting”. Bahasa bukan soal membuka tabir makna,
atau mengungkap esensi baru, tapi soal materialitas dan produktifitas sosial
dari wacana. Berbicara tentang menulis ini tentu inspirasinya dari Foucault,
dan juga dari Edward Said dalam studinya tentang Orientalisme. Para orientalis
menulis, menurut Said, “able to manage -- and even produce – the Orient
politically, sociologically, militarily, ideologically, scientifically, and
imaginatively”.34 Maka, kalau NU menulis-balik, berarti sebuah praksis
untuk memproduksi wacana dan juga realitas baru cara berpolitik, dalam cara
beragama, dan dalam imajinasi.
Selanjutnya, berkaitan metodologi NU Studies ini, dalam konteks pengalaman
NU sebagai subyek peneliti, saya ingin mengutip pengalaman orang-orang PKI yang
meneliti kalangan petani:
“Yang menarik
perhatian dari proyek riset hubungan agraria di Jawa oleh Aidit cs adalah
karena mereka memilih tegas-tegas metode tugas lapangan yang [berdasarkan
partisipasi dan observasi langsung]! Dengan pedoman 3-sama [...] yang
dilengkapi dengan 4-harus dan 4-jangan,35 partisipasi dan kontak dengan
responden-responden (umumnya tani miskin) diusahakan menjadi semesra-mesranya.
Di satu pihak metode partisipasi itu obyektif benar, dimana pelaksana riset
boleh disebut partisan, pula karena langsung mencari
keterangan-keterangan dari subyek-subyek, pelaku-pelaku utama dalam masalah
yang diriset, bukan via lurah atau pemimpin-pemimpin golongan mereka sendiri di
desa. Di lain pihak ternyata ‘approach’ antropologi klasik itu hanya
berlangsung satu minggu untuk satu desa; karena itulah mungkin dicari
kompensasinya dalam ukuran besar dan meluasnya survey itu: desa-desa di 124
kecamatan di Jawa, dengan 3300 kader – pelaksana research, termasuk
pengawas-pengawas – selama enam minggu rata-rata bagi tiap peserta itu. Tetapi
[...] mungkin meluasnya survey itu banyak ditentukan pula oleh kebijaksanaan therapi
bagi kader-kader ormas/orpol itu: supaya dengan riset itu lebih banyak kader
berintegrasi dengan rakyat.”36
Pengamatan atas cara orang-orang kiri seperti Aidit melakukan penelitian
mencengangkan betul. Cara penelitiannya mungkin disebut partisan. NU Studies
juga disebut partisan, dan bahkan bisa jadi disebut subyektif dan sektarian.
Mereka yang disebut partisan, biasanya dianggap berafiliasi dengan partai atau
dengan sebuah subyektifitas partisipan. Tapi dalam konteks ijtihad epistemik NU
Studies, subyektifitas-partisipan adalah sebuah persoalan keterlibatan dalam
ruang lokalitasnya. Ia menggambarkan ruang gerak orang-orang tradisi(onal) yang
lebih bebas dan fleksibel.
Penelitian partisan-partisipatoris ini yang memugkinkan kita mengembalikan
fakta-fakta atau data-data yang ditemukan ke dalam konteksnya. Coba simak
misalnya apa yang diungkap oleh wartawan Ahmad Rashid yang menulis tentang
Taliban dan hubungannya dengan AS dan proyek minyak:
“But exploring this
was like entering a labyrinth, where nobody spoke the truth or divulged their
real motives or interests. It was the job of a detective rather than a
journalist because there were few clues. Even gaining access to the real
players in the game was difficult, because policy was not being driven by
politicians and diplomats, but by secretive oil companies and intelligence
services of the regional states. The oil companies were the most secretive
of all – a legacy of the fierce competition they indulged in around the world.
To spell out where they would drill next or which pipeline route they favoured,
or even whom they had lunch with an hour earlier, was giving the game away to
the enemy – rival oil companies.”37
Yang jelas, apa yang ingin ditekankan oleh Ahmad Rashidi adalah bahwa ada interplay
yang melibatkan sejumlah aktor, dan juga korban. Lapisan inilah yang tidak
diungkap dalam penelitian-penelitian, apalagi survei-survei, tentang Islam dan
politik di Indonesia.
Kritik semacam ini yang disebut Edward Said dalam bukunya The World, the
Text, and the Critic dengan “kritik sekuler”. Dari kritik sekuler inilah,
kita menukik lebih detil lagi ke dalam “analisis situasional”, seperti diangkat
oleh Adele E. Clarke.38
Secara singkat dapat dikatakan bahwa NU Studies mengasumsikan dan mengakui
adanya embodiment dan situatedness dalam segenap produksi
pengetahuan, serta mengasumsikan kebenaran-kebenaran simultan dari berbagai
jenis pengetahuan. Selain itu, ia juga melakukan analisis situasional melalui
proses penelitian, termasuk membuat pemetaan situasional, pemetaan dunia/arena
sosial dan peta posisional. Serta menegosiasikan wacana-wacana dalam relasi/interaksi
sosial, yakni menfokuskan diri pada interaksi diskursif. Ini termasuk
etnometodologi, studi tentang interaksi ritual, dan grounded theory. NU
Studies juga memproduksi identitas dan subyektifitas melalui wacana, dengan
menfokuskan diri pada soal pembentukan subyek (subject making), masalah
produksi relasi kuasa/pengetahuan, ideologi, dan kontrol melalui wacana, dengan
menfokuskan diri pada situasi produksi. Bagaimana wacana itu dihasilkan, oleh
siapa, dengan resource apa saja, dan dalam kondisi apa saja.***
1 Ahmad Baso, lahir di Makasar, 14
November 1971, nyantri di Pesantren An-Nahdlah Makasar, lanjut ke LIPIA Jakarta
pada 1990 dan STF Driyarkara Jakarta pada 1999, namun tidak selesai. Pernah
aktif di sejumlah lembaga: sebagai wartawan dalam Majalah Ummat (alm.),
pernah di Lakpesdam-NU, peneliti lepas di LP3ES, mendirikan Madrasah
Emansipatoris (ME)-Institute for Cultural (Policy) Studies, dan mantan
koordinator aliansi Jamaah Persaudaraan Sejati (JPS). Kini aktif di LTN-PBNU
Jakarta. Kontributor pada jurnal Tashwirul Afkar (Lakpesdam-NU).
Karya-karyanya, Civil Society versus Masyarakat Madani (1999), Post-Tradisionalisme
Islam (ed. dan terj. 2000), Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi
Islam (2002), dan Islam Pasca Kolonial (2005). Bukunya, NU
Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme
Neo-Liberal, baru saja diterbikan oleh Penerbit Erlangga, Jakarta, pada bulan
November 2006 ini.
2 Mohammed Arkoun, “Islamic Studies:
Methodologies”, dalam John L. Esposito (ed. in chief), The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World (Oxford: Oxford University Press,
1995), vol. 2, hal. 332-340. Bandingkan Richard C. Martin (ed.), Approaches
to Islam in Religious Studies (Tucson: The University of Aizona Press,
1985); Azim Nanji (ed.), Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity and
Change (Berlin: Mouton de Gruyter, 1997).
3 Edward W. Said, Power, Politics, and
Power: Interviews with Edward W. Said (edited and with introduction
by Gauri Viswanathan) (London: Bloomsbury, 2005), hal. 111.
5 Edward Said, “Traveling Theory”, dalam The
World, the Text, and the Critic (London: Vintage, 1983), hal. 226-247.
6 R. William Liddle, Revolusi dari Luar:
Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Nalar, 2005), hal. 44 dan 45.
7 Lebih jauh tentang soal “local
knowledge” ini sebagai perspektif dan metodologi, lihat buku saya, Plesetan
Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (Depok: Desantara, 2002).
8 Forum USINDO-TAF diselenggarakan di
Washington DC, AS, yang membahas tentang Islam di Indonesia Modern, 7 Februari
2002 lalu. Saya membaca transkrip proseding lengkap acara tersebut. Dan
ternyata membuat saya kaget. Forum ini dihadiri oleh sejumlah intelektual
Indonesia: Azyumardi Azra, Ulil Abshar-Abdallah, Muslim Abdurahman, Rizal
Sukma, Lies Marcoes. Juga dari Australia ada Greg Fealy. Dari AS sendiri, ada
Robert Hefner, Don Emmerson, dan Mark Woodward, serta Douglas Ramage dari TAF
perwakilan Indonesia.
Pesertanya, saya kira, adalah orang-orang akademis, dan
diskusinya pun ilmiah -- yang biasa saya dengar dan ikuti di beberapa tempat di
luar negeri. Tapi, ternyata, ada orang Republikan, ada orang intelijen, ada NGO
“watch” terhadap Indonesia (seperti Poso Watch, Maluku Watch, dsb), ada
perwakilan dari Gedung Putih, dari Senat, dari Kongres, dan beberapa pihak dari
kalangan yang dekat dan punya urusan dengan kebijakan luar negeri AS -- tentu
dekat dengan Bush II pasca 11 September 2001. Jadi, mereka berkepentingan
dengan bentuk kebijakan apa tentang Indonesia dan Islam, termasuk terhadap NU
dan Muhammadiyah. Bagaimana misalnya kedua ormas Islam terbesar di Indonesia
ini menggalang kekuatan untuk mendukung kampanye AS melawan terorisme.
Ada kesimpulan dari seminar tersebut bahwa Indonesia
adalah sebuah negara yang gagal. Ini ditandai dengan banyaknya krisis, mulai
dari soal korupsi hingga suburnya kelompok-kelompok Islam keras dan
Talibanisme. Hefner misalnya menyebut kriiss itu karena faktor dari dalam negara
itu sendiri, dan tidak menyinggung soal intervensi luar atau pengaruh asing.
Meski tidak mengakui pengaruh Barat, tapi Hefner malah mengusulkan perlunya AS
untuk intervensi supaya negara RI tidak gagal, dan talibanisme tidak
membahayakan. Maka diskusi pun mengarah ke soal bagaimana sebaiknya peran AS
terhadap Indonesia, terhadap Islam, terhadap NU dan Muhammadiyah, terhadap
kelompok keras, dan juga terhadap pemerintahan Indoensia. “How do we deal
with these issues? What can the United States do?”, demikian pertanyaan
Rizal Sukma dalam forum tersebut.
Kesimpulannya? Mencengangkan. Bukan hanya kesimpulan itu
diarahkan dari pidato sambutan oleh tuan rumah yang menyebut pentingnya
membahas soal privatisasi dan kebangkitan kelompok Islam keras: “to discuss
the problems in privatization or the perceived rise of Muslim extremism”.
Tapi juga kesimpulan yang dibacakan dengan apik oleh orang USINDO di penghujung
acara forum itu: “It seems to me that we need to balance our desire to
create links with indonesian military with our desire to foster democracy in
Indonesia”. Jadi, intervensi itu ada dua sayap: jalur demokrasi dan jalur
militer – plus jalur duit perusahaan multinasional atau lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Contoh Amerika banyak di sejumlah
negara dunia ketiga. Gaya koboi-Amerika ini mirip dengan cara orang Ansor kalau
mau jadi penguasa tunggal di Ansor: punya tiga tim sukses. Tim A tugasnya
demokratis, elegan, rasional. Tim B bermain money politics. Dan Tim C
terdiri dari orang-orang Banser misalnya. Kalau Tim A gagal mengumpulkan suara
banyak, pakailah Tim B. Kalau Tim B pun gagal, karena banyak orang idealis
mungkin, maka pakai gertakan dan ancaman ala tukang kepruk, Tim C.
9 Kembali kepada tradisi dan identitas
kultural dalam berteori ini pernah diamati oleh Craig Calhoun ketika
menunjukkan pengamatannya terhadap Mazhab Frankfurt yang dikaitkan dengan
“kembali kepada identitas kultural Ke-Yahudi-an mereka” di era Nazisme Jerman.
Ia menulis demikian:
“Most of the early key Frankfurt theorists were Jews. If
this did not produce an acute enough interest in politics of identity to start
with – most of them coming from highly assimilated families and assimilating
further themselves in the course of their studies – the rise of Nazism and
broader anti-Semitic currents brought the issue home. Faced withs the question
why Jews were not just one minority group among many – for the Nazis certainly
but also for most of modernity – Horkheimer and Adorno sought the answer in a
characteristic way: Anti-Semitism represented the hatred of those who see
themselves as civilized, but could not fulfill the promises of civilization
for all those who reminded them of the failures of civilization”. Craig
Calhoun, Critical Social Theory (New York: Blackwell, 1995), hal. 17 –
huruf miring dari saya. Dari kutipan ini, sebutan “anti-Semitisme” untuk
konteks ke-Yahudi-an para pemikir Mazhab Frankfurt, dan juga sebutan
“sektarian-apologis” untuk konteks ijtihad epistemik NU Studies, menunjukkan
gagalnya segenap proyek pemberadaban-modernisasi yang digelar oleh
kekuatan-kekuatan absolut-imperial.
10 Dikutip dalam Nurjannah, “Peranan
Nahdlatul Ulama dalam Mengembangkan Syiar Islam di Kabupaten Bone”. Skripsi S1
Fakultas Adab IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1995, hal. 49.
11 Tentang cara kolonialisme menggunakan dua
sayap ini, civilizing dan obliterating, terhadap penduduk
pribumi, lihat Edward W. Said, “Identity, Negation and Violence”, dalam The
Politics of Dispossession: The Struggle for Palestinian Self Determination,
1969-1994 (New York: Vintage, 1995), hal. 341-359.
12 Jajat Burhanuddin, “Temuan Survey
Nasional: Sikap dan Perilaku Kekerasan Keagamaan di Indonesia”. Makalah
presentasi hasil survei, Juli 2006, hal. 4. Huruf miring dari teks asli.
14 Lihat misalnya Bhikhu Parekh, Colonialism,
Tradition and Reform: An Analysis of Gandhi’s Political Discourse (London:
Sage, 1999), edisi revisi.
16 Lihat Daniel Dhakidae, “Langkah
Non-Politik dari Politik Nahdlatul Ulama”, dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed.), Gus
Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 125-131.
18 Chris Manning dan Peter van Diermen
(editor), Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan
Krisis (Yogyakarta: LKiS, 2000).
20 Walter D. Mignolo, “The Zapatistas’s
Theoretical Revolution: Its Historic, Ethics And Political Consequences”.
Makalah konferensi “Comparative Colonialisms: Preindustrial Colonial
Intersections”, 31 Oktober-1 November 1997. Mignolo mengungkap kisah pertemuan
kelompok gerakan komunitas Zapatista dengan kelompok Marxis dimana Zapata
ditempatkan sebagai pusat dalam sejarah perjuangan mereka bersama. Pertemuan
ini dibaca oleh Mignolo sebagai colonial difference, dan bukan
relativisme kultural. Seperti halnya Gus Dur yang menempatkan pesantren dalam
pusat sejarah bangsa. Tentang pengetahuan subaltern dan konsep colonial
difference ini, lihat Walter D. Mignolo, Local Histories/Global Designs:
Coloniality, Subaltern Knowledges, and Border Thinking (Princeton:
Princeton University Press, 2000).
21 Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing
Methodologies: Research and Indigenous Peoples (London: Zed Books, 1999).
23 Clifford Geertz, “The Javanese Kijaji:
The Changing Role of a Cultural Broker”. Comparative Studies in Society and
History, vol. 2, no. 2, tahun 1958, hal. 228-249.
30 Mengapa Abdurrahman Wahid? Karena is
bersuara polyphonic. Baik yang memuji maupun yang mencibir Wahid,
semuanya hanya mengangkat satu suara dalam belantara aneka suara yang mungkin
pada diri Abdurrahman Wahid. Untuk menyelami suara Wahid ini, saya perlu
mengutip Bakhtin yang ingin memahami suara Dostoevsky: “it seems that each
person who enters the labyrinth of the polyphonic novel somehow loses his way
in it and fails to hear the whole behind the individual voices ... Everyone
interprets in his own way Dostoevsky’s ultimate word, but all equally
interprets it as a single word, a single voice, a single accent,
and therein lies their fundamental mistake”. Dikutip dalam Emily A. Schultz, Dialogue
at the Margins: Whorf, Bakhtin and Linguistic Relativity (Madison: The
University of Wisconsin Press, 1990), hal. 7.
31 Tentang strategi-strategi kultural
abrogasi dan apropriasi ini dalam konteks masyarakat pasca-kolonial, lihat
Ashcroft, Griffiths dan Tiffin, The Empire Writes Back, hal. 37-76.
32 Lihat Ahmad Baso, “Melawan Tekanan Agama:
Wacana Baru Pemikiran Fiqih NU”, dalam Jamal D. Rahman, et. al.
(editor), Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH. Ali Yafie (Bandung:
Mizan, 1997), hal. 131-143.
33 Dalam konstruk “Islamic nationhood”,
seperti yang ditunjukkan seorang peneliti luar dalam bukunya baru-baru ini, Tasjwiroel
Afkar tidaklah punya tempat, bila dibandingkan misalnya dengan Sarekat
Islam atau jurnal al-Munir atau Seruan Islam dari Al-Azhar.
Embrio NU itu disebut “unIslamic”, seperti ditulisnya,
“The Tasjwiroel Afkar did not make a very positive
debut in Surabaya in late 1918, and was greeted with suspicion by several
members of the Kaum Muda who urged Sarekat Islam members to avoid the grouping
claiming that its objectives were unIslamic.”
Lihat Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and
Colonial Indonesia: The Umma below the Winds (London & New York:
RoutledgeCurzon, 2003), hal. 259.
35 Pedoman 3-sama, 4-harus, 4-jangan,
dikemukakan D.N. Aidit dalam bukunya Kaum Tani mengganjang Setan-setan Desa:
Laporan Singkat tentang Hasil Riset mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani
di Jawa Barat (1964). 3-sama: “sama bekerja, sama makan, dan sama
tidur dengan buruh tani atau tani miskin”; 4-jangan: “jangan tidur di
rumah kaum penghisap di desa, jangan menggurui kaum tani, jangan merugikan tuan
rumah dan kaum tani, jangan mencatat di hadapan kaum tani”; 4-harus:
“harus melaksanakan ‘3-sama’ sepenuhnya, harus rendah hati, sopan santun dan
suka belajar dari kaum tani, harus tahu bahasa dan mengenal adat-istiadat
setempat, dan harus membantu memecahkan kesulitan-kesulitan tuan rumah, kaum
tani dan partai setempat”.
36 Kampto Utomo (Sajogyo), “Research
Sosiologi Pedesaan di Indonesia”, dalam Sadikin Soemintawikarta (ed.), Research
di Indonesia 1945-1965 (Jakarta: PN Balai Pustaka/Departemen Urusan
Research Nasional, 1965), hal.259; sebagaimana dikutip dalam Ben White, “Di
Antara Apologia dan Diskursus Kritis: Transisi Agraria dan Pelibatan Dunia
Ilmiah di Indonesia”, dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (eds.), Ilmu
Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: Equinox, 2006), hal. 129-130.
37 Ahmed Rashid, Taliban: Islam, Oil, and
the New Great Game in Central Asia (London: IB. Tauris, 2002), hal. 163.
38 Adele E. Clarke, Situational Analysis:
Grounded Theory after the Postmodern Turn (London: Sage, 2005).
Di unduh dari www.diktis.kemenag.go.id/.../Makalah%20Ahmad%20Baso pada hari senin, 30 Desember 2013
pukul 12.20 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar