Sabtu, 28 Desember 2013

Memahami Setting Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor

Iftitah
            Gerakan Pemuda Ansor (GP. Ansor) yang kita kenal sekarang mempunyai sejarah panjang dalam kaitannya dengan gerakan maupun pemikirannya. Kebesaran Ansor setidak-tidaknya berhubungan dengan masa lalunya yang sangat erat kaitannya dengan kelahiran Nahdlatul Ulama baik sebagai jamaah maupun sebagai jam’iyyah.

Namun bukan berarti pergerakan Ansor tidak mengalami fluktuasi, bahkan Ansor meminjam istilah Choirul Anam (1995) “telah lama mati”, jika saja –waktu itu- pemuda Chusaini Tiway dan KH.Abdul Wachid Hasyim tidak turun tangan untuk menghidupkan Ansor kembali pada jaman perang kemerdekaan, setelah dalam rentang yang cukup lama Ansor dibuat mati oleh pemerintah militer Jepang (gunseikanbu) di Indonesia dan anggotanya sibuk menjadi laskar Hizbullah.
Sebagai organisasi pemuda yang boleh diklaim terbesar di tanah air GP. Ansor telah melakukan peran-peran strategis kaitannya dengan persoalan kenegaraan, kebangsaan, kepemudaan dan keagamaan. Meski peran ini juga mengalami pasang surut. Namun dalam konteks keindonesiaan, jelas peran Ansor sangat beragam – meski tidak selalu dominan-, namun sayang dalam tinta emas sejarah nasional Indonesia perannya seakan-akan dikaburkan.
Menjawab hal itu memang bukan dengan protes atas naskah-naskah sejarah saja, tapi yang lebih penting bagaimana peran GP. Ansor hari ini dan untuk masa depan Indonesia dan bahkan Islam sekalipun. Kegagapan GP. Ansor dalam menghadapi dan mengisi roda pembangunan bangsa hanya akan menjadi semakin kaburnya sejarah peran emas GP. Ansor masa lalu. Tanggung jawab untuk terus membesarkan GP. Ansor ada di pundak para anggota Ansor, sehingga GP. Ansor tetap bisa menjadi garda depan (avant gard) pemuda Indonesia.

GP. Ansor dalam Perspektif Sejarah Kelahiran

            Untuk mengungkap sejarah panjang Ansor tersebut, tidak bisa tidak harus memperhatikan latar belakang berdirinya Ansor.  Organisasi ini dilahirkan pada tanggal 24 April 1934 M/10 Muharram 1353 H, oleh muktamar NU ke-9 di kota Banyuwangi Jawa Timur. Awalnya disebut ANO (Anshor Nahdlatul Oelama). Nama Ansor tidak diambil begitu saja tetapi atas saran KH. Wahab Chasbullah yang dinisbatkan pada dua momentum sejarah yang diabadikan dalam al-Qur’an, yakni pertama, manifesto hawariyyin yang membela Nabi Isa As, dan kemudian kedua, pada kaum di Yatsrib (Madinah) yang sangat berjasa kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan Islam tatkala menolong dan menyambut dengan takdzim kedatangan Nabi ketika hijrah dari Makkah. Dalam muktamar ini pula ANO disahkan masuk dalam jajaran departmen (bagian pemuda) melengkapi departemen yang sudah ada sebelumnya di NU yaitu: Dakwah, Ma’arif, Ekonomi dan Mabarrot. Tokoh pemuda NU yang ditugasi mengebangkan ANO antara lain: Thohir Bakri (juga pendiri Sarbumusi) dan Abdullah Ubaid (Ketua Persatuan Pemuda NO/PPNO tahun 1932), yang langsung mendapat bimbingan seorang Kyai muda yang sangat energik KH. A. Wahab Chasbullah sehingga ANO bisa tersebar kemana-mana.
            Namun jauh sebelum itu embrio lahirnya Ansor telah mulai tumbuh, dimulai dengan berdirinya Nahdlatul Wathan (Kebangunan Tanah Air) di Surabaya pada tahun 1916 atau sepuluh tahun sebelum lahirnya NU. Pendiri Nahdlatul Wathan ini adalah KH. Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur, H. Abdul Kahar, Soejoto dan HOS. Tjokroaminoto, waktu itu mereka adalah sama-sama anggota Sarikat Islam. Kelahiran organisasi ini kemudian disambut antusias oleh umat Islam teutama dikalangan para pemuda Islam.
            Disusul kemudian dengan lahirnya Tashwirul Afkar, awalnya adalah sebuah perkumpulan di bidang sosial, pendidikan dan dakwah oleh KH Wahab Chasbullah dan KH Mas Mansur yang dibantu oleh KH A. Dachlan Achyat dan P. Mangun. Organisasi ini lahir dari diskusi dan perdebtan panjang mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang timbul.
            Tahun 1924, berdirilah Syubbanul Wathan (pemuda tanah air) sebagai sintesa antara gerakan Nahdlatul Wathan  dan pemikiran tashwirul afkar. Kelahiran organisasi ini dilatarbelakangi oleh semangat menyatukan para pemuda waktu itu, juga di picu oleh organisasi pemuda kedaerahan (primordialistik) seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumatera dan lainnya. Syubbanul Wathan  sendiri digagas dan dilahirkan oleh kader-kader yang digembleng oleh KH Wahab Chasbullah. Organisasi ini diketuai oleh Abdullah Ubaid, wakil ketua Thohir Bakri, dan Abdur Rahim sebagai sekretaris. Dalam waktu yang relatif singkat para pemuda di Surabaya berbondong-bondong masuk organisasi ini, bukan semata-mata karena ketokohan pendirinya tetapi memang karena performa organisasi yang sangat maju untuk ukuran organisasi pemuda saat itu. Dimana organisasi ini disamping berdakwah, juga mengadakan kursur dan pelatihan bagi peningkatan kapasitas anggotanya yang dipersiapkan sebagai kader pemimpin. Seiring dengan Syubbanul Wathan juga lahir organisasi pemuda yang senafas yaitu Da’watus Syubban.
            Namun sejak kelahiran NO – pakai ejaan lama Nahdlatul Oelama- pada tahun 1926, organisasi pemuda berbasis muslim tradisional ini kemudian mengendur, seiring dengan banyaknya elite pengurus yang menjadi pengurus NO. Dan akhirnya karena pada tahun 1930-an, Syubbanul Wathan dan Da’watus Syubban  dimerger menjadi Nahdlatus Syubban (Kebangkitan Pemuda) oleh para pemuda atas motivasi dari Abdullah Ubaid dan Thohir Bakri. Nahdlatus Syubban ini diketuai oleh Umar Burhan. Pada tahun 1931 lahirlah Persatuan Pemuda NO (PPNO) yang merupakan organisasi pemuda dengan level nasional dan menjadi bagian dari Jam’iyyah NU, dan organisasi ini langsung dibawah pimpinan Abdullah Ubaid. Pada tahun 1932 PPNO di rubah menjadi Pemuda NO (PNU). Namun kemudian atas advis dan inspirasi dari KH Wahab Chasbullah PNU di rubah dan disahkan menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO)  pada tahun 1934 dalam muktamar NU ke-9.
            Pada jaman penjajahan Jepang ANO dibubarkan oleh Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) di Indonesia. Dan kemudian mantan anggota ANO ini berkumpul membentuk lasykar Hizbullah yang ikut merebut dan mempertahankan NKRI, Baru setelah revolusi fisik  tahun 1945-1949 dan sesudah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, maka para tokoh ANO mulai berpikir kembaIi tentang ANO. Dimulai dari ide dan inisiatif Mohammad Chusaini Tiway, tokoh ANO Surabaya untuk mengadakan reuni pemuda mantan ANO.
            Dalam ajang reuni mantan ANO inilah kemudian tercetus keinginan untuk mengaktifkan kembali ANO. Dan akhirnya lahirlah kesepakatan baru untuk menghidupkan kembali organisasi ANO dengan nama baru: Gerakan Pemuda Ansor pada tanggal 14 Desember 1949, dan terpilih sebagai Ketua Umum pertama GP. Ansor adalah Chamid Widjaja.
Di luar itu, yang menarik kemunculan Ansor ini juga dibarengi dengan Barisan Ansor Serba Guna atau yang lebih akrab disebut BANSER. Banser sendiri  pada mulanya adalah organisai kepanduan kelanjutan dari Pandu Ahlul Wathan. Didirikan pertama kali dengan nama Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) dalam Kongres II ANO di Malang. Sedang instruktur umum Banoe adalah Mayor TNI Hamid Rusdi. Dan sejak saat itu perlahan-lahan Banoe didirikan dicabang-cabang ANO. Peran Banoe ini juga mengalami stagnasi seiring dengan mati surinya ANO. Baru kemudian setelah ANO berubah menjadi GP. Ansor pada tahun 1949, Banoe  pun ikut menggeliat dan akhirnya kemudian berubah menjadi Barisan Ansor Serba Guna (Banser). Barisan Ansor Serbaguna ini di desain sebagai kader inti Ansor, yang diharapkan bisa berperan dalam bidang kepeloporan pemuda.

            Disisi lain, ada beberapa setting yang melatarbelakangi berdirinya Gerakan Pemuda Ansor, antara lain: Agama, politik kenegaraan, dan Sosial Budaya
a.    Latar belakang Agama
Kelahiran GP. Ansor memang tidak bisa dipisahkan dari setting agama yang berkembang pada waktu itu, seiring juga dengan lahirnya induk organisasinya yaitu Nahdlatul Ulama, meski sebenarnya mempunyai alur sejarah awal yang berbeda dalam pendiriannya. Sudah sangat dikenal dalam catatan sejarah tentang perdebatan bahkan pertentangan antara golongan tradisional yang mempertahankan cara-cara beribadah tertentu dengan golongan modernis yang ingin mengadakan purifikasi (pemurnian) agama. Tradisi keagamaan yang dijalankan oleh ulama dan umat Islam tradisional dianggap penuh dengan bid’ah  dan khurafat. Pendapat terakhir ini akibat dari masuknya paham Islam Wahabi ke Indonesia. Untuk itu golongan Islam tradisionalis akhirnya bertahan dan kemudian bersatu membentuk organisasi Nahdlatul Ulama, yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh GP. Ansor. Dari perspektif ini maka berdirinya GP. Ansor adalah untuk membentengi ulama dari sengketa dan konflik baik fisik maupun non-fisik dengan kelompok di luar NU. Namun tidak berarti hanya disitu saja, namun dari sudut pandang ini juga berfungsi sebagai lembaga dakwah khususnya dikalangan pemuda.

b.  Latar Belakang Politik Kenegaraan
Kecintaan para pemuda Indonesia terhadap negaranya, pada awalnya di dahului dengan keinginan untuk memerdekaan diri  dari penjajahan. Untuk itu perlu dipersiapkan kader-kader bangsa yang bisa berperan untuk merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, sehingga kemudian embrio Ansor lahir, mulai dari Nahdlatul Wathan, syubbanul wathan dan terakhir menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Ketika jaman Jepang dan jman perang kemerdekaan berubah ujud menjadi Laskar Hizbullah yang waktu itu merupakan gerakan bersenjata dari Ansor, laskar ini berada di garda depan menghadapi penjajah Jepang maupun Belanda. Setelah kemudian Indonesia merdeka dan kedaulatan RI di akui oleh Belanda barulah kemudian Ansor yang kita kenal sat ini lahir kembali. Dan menarikanya dalam catatan sejarah embrio Ansor lahir telebih dahulu dibanding NU sebagai organisasi induknya. Kelahiran gerakan kepemudaan yang nantinya menjadi Ansor ini mempunyai semangat nasionalisme par-excelent bukan hanya sekedar berbicara tetapi juga terjun langsung merebut kemerdekaan. Ini juga sejalan dengan NU yang menerapkan ­semangat non-cooperation dengan penjajah waktu itu, namun Ansor memanifestaikan non-cooperation dengan lebih rapi dan halus, meski kerap kali gerakan Ansor dituding oleh para Ulama konservatif di NU sebagai gerakan yang epigon terhadap penjajah hanya karena uniform  dan media Ansor yang relatif modern untuk waktu itu, bahkan sempat diusulkan oleh golongan ulama konservatif ini untuk dibubarkan. Latar belakang politik kenegaraan yang dilandasi oleh semangat nasionalisme dan patriotisme inilah yang paling mengemuka latarbelakang berdirinya Ansor.

c.     Latar Belakang Sosial Budaya
Kelahiran Ansor juga diilhami oleh rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) pemuda Indonesia pada jaman penjajahan. Mereka tidak diberi kesempatan mengenyam pendidikan yang layak. Maka lahirlah organisasi kepemudan yang menjadi embrio Ansor, yang program dan kegiatannya berorientasi pada peningkatan kapasitas SDM anggota-anggotanya. Kursus-kursus singkat dan pelatihan diadakan sehingga dengan cepat manarik minat pemuda Indonesia waktu itu. Kelahiran Ansor memang diharapkan menjadi kawah condrodimuko bagi pemuda Indonesia, untuk didik sebagai kader bangsa yang mempunyai jiwa nasionalisme yang kuat dengan dasar Islam ala aswaja.

Ikhtitam
            Harus diakui berdasarkan catatan sejarah, secara institusional antara Gerakan Pemuda Ansor dan NU memiliki beberapa akar historisitas yang berbeda. GP. Ansor awalnya adalah gerakan nasionalistik kepemudaan yang dibungkus dengan baju Islam ala ahlussunnah waljma’ah. Jadi awalnya yang mengemuka adalah semangat naionalisme dan patriotisme kebangsaan, meski kemudian harus melebur menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama.  Gerakan pemuda Ansor sendiri merupakan perpaduan antara semangat agama (Islam paham Aswaja) dengan nasionalisme dan patriotisme kebangsaan, dari sini dapat dipahami bahawa tugas dan tanggungjawab utama Gerakan Pemuda Ansor adalah menjaga agama dan negara. (Hasan Abadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar