Minggu, 15 Mei 2016

REKA ULANG ISLAM KIRI*

Singkat kata, judul diatas adalah sebuah anomali. Bagian dari laku eksentrik yang memviral di kalangan generasi sosial media. Kata Islam Kiri secara logika ibarat mengoplos air dan minyak. Islam dan Kiri tidak akan pernah bisa bercampur karena keduanya tidak bisa mengikatkan diri. Tapi upaya meramu Islam dan Kiri dalam sebuah wadah, masih mungkin dilakukan. Dalam tumbuh kembang sejarah dunia upaya itu sudah pernah dilakukan.



Islam harus dipahami sebagai agama yang dalam konteks praktis mendasarkan ajarannya pada spiritualisme dan devotion (kepercayaan) terhadap Zat yang secara empiris tidak dapat dibuktikan. Sedangkan Kiri, dalam hal ini Marxisme-Leninisme, adalah doktrin politik berlandaskan pada filsafat materialisme yang menuntut pembuktian kebendaan.

Karl Marx sebagai penggagas induk filsafat kiri tegas menyatakan bahwa agama adalah candu. Agama membuat rakyat lupa dengan perjuangan strukturalnya dalam rangka merebut alat-alat produksi dari kalangan kapitalis. Dalam logika kiri, Islam sebagai agama adalah supra-struktur bagian dari kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme. Karena itu, Islam sebagai agama harus dibasmi atau setidaknya dilumpuhkan.

Gus Dur menyebutkan, Islam adalah “bagian dari kontradiksi internal kapitalisme” dalam doktrin Marxisme-Leninisme. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan antara Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola umum pertentangan antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh kaum feodal.

Pertentangan ideologis antara Islam dan Marxisme-Leninisme memang tidak terbantahkan. Dalam fungsi kemasyarakatan, Marxisme-Leninisme berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.

Dalam ajaran formal Islam, kehidupan bermasyarakat harus selaras dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari Allah SWT. Islam memiliki wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk menampung aspirasi kehidupan nyata yang terus berubah seiring zaman. Pengaturan masyarakat secara utuh berlandaskan rasionalitas tidak akan dapat diterima oleh ajaran Islam. Ada kepatuhan terhadap ajaran Ketuhanan yang harus dilibatkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Maka sah-sah saja bila kalangan Marxis-Leninis mengkategorikan penganut Islam secara spesifik sebagai “golongan Islam”. Sama halnya golongan Islam mengkategorikan kalangan Marxis-Leninis sebagai “golongan kiri”.

Rasa mampu untuk menghadirkan kepercayaan utuh pada ajaran Islam dan Kiri secara bersamaan dalam sebuah tubuh sulit diterima nalar. Tapi, memperuncing perbedaan untuk mereproduksi ulang kekerasan massal atas nama perbedaan ideologi dan golongan justru akan melukai nurani dan kemanusiaan. Yang sangat mampu dilakukan adalah merangkai garis temu antara Islam dan Kiri.

Fenonema tumbuhnya golongan yang secara spiritualitas mempraktikkan ajaran Islam tetapi dalam konteks lahirian dan kepercayaan ideologis mendedikasikan tenaga dan pikirannya kepada tumbuh kembang dan persebaran ajaran Marxisme-Leninisme secara praktis bukan hal baru. Bapak Bangsa, Presiden Soekarno, dalam artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang diterbitkan pada tahun 1926 menegaskan bahwa persatuanlah yang membawa kita (bangsa Indonesia) ke arah “kebesaran dan kemerdekaan”.

Bung Karno memberikan penegasan bahwa ada tiga aliran dalam politik Indonesia yang bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka. Yakni, nasionalis, agama, dan marxis. “Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” tulis Bung Karno.

Lebih jauh, Bung Karno menjabarkan klasifikasi antara nasionalis sejati dan nasionalis chauvinis, Islam sejati dan Islam kolot, lalu menarik sebuah persamaan mendasar antara golongan marxis dan Islam yang sama-sama cenderung pada sosialisme dan kontra kapitalisme. Secara spesifik, Bung Karno memberikan cap bahwa kapitalisme adalah paham riba.

Yang harus dicermati, Bung Karno tidak menyatukan ketiga golongan tersebut dalam sebuah pemahaman satu tubuh golongan. Melainkan, berbicara tentang langkah kooperatif diantara ketiga golongan tersebut untuk bersatu padu. Karena ketiga golongan tersebut, ketika itu, memang berdiri pada landasan ideologinya masing-masing dan sama kuat.

Juga perlu dipahami, Islam secara ajaran justru mampu menjadi “jalan tengah” antara Marxisme-Leninisme dan Kapitalisme. Para pemikir Islam terdahulu sudah sejak jauh-jauh hari menyimpulkan bahwa kapitalisme akan membawa bencana. Kapitalisme terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada inividualisme.

Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat. Islam memberikan pemecahan dengan jalan menyeimbangkan antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”.

Sejarah mencatat diantara sekian pemimpin negara Islam, Bung Karno bukanlah satu-satunya yang memiliki pemikiran merajut nasionalisme, agama dan komunis. Presiden Libya, Muammar Khadafi juga pernah melakukan itu.

Secara formal, paham Komunis dilarang di Lybia. Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur Marxisme-Leninisme yang diserap dalam doktrin politik Khadafi. Misalnya, pengertian “kelompok pelopor revolusi” yang diadopsi dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari kekuasaan Kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi cukup yang masih berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep “pimpinan revolusi”, yang dicanangkan sebagai AL Jamariyah atau “dewan-dewan rakyat” sebagai satu-satunya kekuatan “pengawal revolusi” dari kemungkinan direbut kembali oleh kapitalisme internasional.

Harus dipahami bahwa upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik yang ditawarkan sebagai “ideologi Islam Kiri” selalu mempertahankan warna agama yang kuat. Bung Karno, Khadafi, Abdel Malek, Ali Syari’ati, Masoud Rajavi adalah sekian dari nama tokoh yang telah berupaya merumuskan ramuan baru Islam Kiri. Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam dilemahkan, melainkan sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui “penyerapan ideologi sebagai alat analisis”.

Gus Dur memandang, kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan konkret. Sehingga membuka kemungkinan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.

Peluang terjadinya titik sambung diantara keduanya memang tidak bisa dipungkiri. Terutama terkait kesamaan orientasi populistik dan egalitarian antara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama imperialisme Amerika Serikat.

Terlebih, kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, Pancasila.

Tinjauan yang selama ini dilakukan atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal dan sangat formal. Wajar sekali kalau kaitan dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, tetapi diterima dalam praktek. Seperti wajarnya ”garis partai” yang menolak kehadiran agama di negara-negara komunis, tetapi dalam praktek diberikan hak melakukan kegiatan serba terbatas.

Tinjauan mendalam terhadap Marxisme-Leninisme dari sudut pandangan Islam harus memisahkan antara sikap Islam yang dirumuskan dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap Islam” yang tampil dalam kenyataan. Yakni sikap Islam yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara umum. Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dalam praktek. Sehingga tidak dapat begitu saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah.

Tapi, tetap harus digaris bawahi bahwa kemungkinan untuk menghidupkan kembali titik sambung diantara Golongan Islam dan Golongan Kiri juga terhalang fakta sejarah bahwa Kaum Komunis sudah dua kali melakukan pengkhianatan politik terhadap upaya menegakkan NKRI dan Pancasila. Yakni, pada tahun 1948 dan 1965.

Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan pemerintahan, tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir dan berdasarkan kebutuhan taktis belaka. Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling mengambil antara dua ideologi besar, tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain.

Hubungan antara Islam dan Marxisme-Leninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri. Yaitu kesamaan sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing.

Jika diproyeksikan lebih jauh ke masa depan, akan muncul varian lain dari pola hubungan yang telah ada itu. Yaitu dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Marxisme-Leninisme.

Ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan Nabi Muhammad SAW dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan penafsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama itu.

Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara kritis sebagai alat populistik untuk menata orientasi kemasyarakat kaum muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada pundak lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu. Karena pertanian membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang kecil-kecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk Madinah.

Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.

Islam Kiri dalam praktik nyata di Indonesia masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Tapi memberikan kepercayaan lahirnya Golongan Kiri dalam konteks Partai dan mengembalikan hak-hak politiknya di Indonesia sepertinya masih jauh api dari panggang bagi Golongan Islam.

Denpasar-Malang,  Mei 2016

Zulham Mubarak
Ketua Departemen Advokasi dan Kebijakan Publik
PC GP Ansor Kab. Malang

*) sebuah penjabaran ulang dan interpretasi artikel KH Abdurrahman Wahid berjudul Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme (Persepsi, 1982).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar