Senin, 16 Mei 2016

PESANTREN DAN STRATEGI MENGHADAPI MEA

MEA dan implikasinya
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau yang lebih familiar kita dengar dengan MEA merupakan pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade diantara negara-negara anggota ASEAN. Para anggota ASEAN termasuk Indonesia telah menyepakati suatu perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut. 


MEA merupakan hasil dari pertemuan para pimpinan ASEAN dalam KTT yang diselenggarakan di Kuala Lumpur pada tahun 1997, dalam pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan penting untuk melakukan perubahan ASEAN dengan mengintegrasikan ekoonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas, hal ini dilakukan untuk mewujudkan visi ASEAN 2020 yakni menjadikan suatu kawasan yang makmur, stabil dan sangat bersaing dalam perkembangan ekonomi yang berlaku adil dan dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan sosial ekonomi.

Pada tahun 2015 MEA telah diberlakukan, artinya perdagangan bebas dikawasan ASEAN telah dimulai, dimana produk-produk dari kawasan asean akan dengan mudah masuk ke Indonesia bersaing dengan produk dalam negri, bukan hanya itu saja, para pekerja mulai dari buruh sampai kalangan profesional akan berebut kesempatan kerja di kawasan asean. 
Beberapa implikasi diterapkanya MEA adalah Tenaga Kerja yang semakin Kompetitif, dan bersaing Terbuka, Arus barang dan Jasa semakin deras antar 10 Negara Anggota,  adanya standar kompetensi  tenaga kerja yang tinggi, produk  harus berkelas dan berkualitas, arus deras tenaga kerja ke luar dan ke dalam negeri, harus menuntut adanya keahlian khusus dan bahasa disamping information technology, networking, kesiapan kelembagaan, jaminan kualitas (quality control) yang semakin ketat.
persoalan yang paling dikhawatirkan dengan diterapkanya MEA ini adalah adanya dekadensi moral generasi bangsa dan terkikisnya budaya lokal nusantara, hal ini akan terjadi apabila arus tenaga kerja dari luar negri semakin banyak masuk ke Indonesia dan membawa budaya serta gaya hidup mereka ke Indonesia lalu mempengaruhi serta mengikis budaya dan gaya hidup geberasi bangsa indonesia.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita (bangsa Indonesia)  telah siap menghadapi persaingan global ditingkat asean, baik dari sisi produk dan sumberdaya manusia.

Pesantren dan strategi menghadapi MEA
Sebagaimana kita ketahui, pesantren adalah sebuah lembaga, yang didirikan oleh seorang tokoh, dimana disitu dibangun masjid, terdapat tempat tinggal santri dan bangunan lain terkait pengajaran dan tarbiyatul Islam. Institusi pesantren tak lepas dari unsur paling utama yaitu kyai, pengurus pondok, disamping pengurus yayasan dan lembaga yang ada dalam pesantren, jajaran pengasuh, santri atau alumni serta unsur bangunan fisik lainnya.  
Pada asal mulanya rata-rata pesantren mengajarkan agama sebagai menu pokok materi pembeljaranya. Namun sejak tahun 90an, banyak pesantren yang menjelma menjadi pusat-pusat pengembangan dan pengabdian masyarakat dan simpul tali dari gerakan ummat dan pemukul genderang pengembangan masyarakat. 
Sekarang, dengan jumlah tak kurang dari 23.000 buah (data kementrian agama), dan dengan sejarah yang panjang, Lembaga pesantren sangat signifikan bagi pengembangan nilai dan ilmu pengetahuan disamping pengembangan skill dan produsen tokoh-tokoh daerah dan nasional. Dengan kata lain lembaga pesantren adalah sekian dari institusi non negara di Indonesia yang perannya berkelanjutan, bergerak otonom mandiri dan kongkrit.
Dalam kaitan menyonsong kesiapan kelembagaan itulah yang perlu penegasan bahwa struktur utama pesantren dan sub struktur pesantren adalah titik fokus dalam menyiapkan pesantren untuk menyongsong perubahan apa saja terutama MEA. Kesiapan kelembagaan pesantren inilah yang harus menjadi prioritas disamping networking yang luas dan produktif.

Secara historis, pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dengan banyak keunikan dan beragam potensi yang meniscayakan institusi tersebut dapat menjadi pusat peradaban muslim di Indonesia. Sedangkan secara filosofis, pesantren sejak awal berdirinya dibangun di atas landasan dan konsep dasar pendidikan yang bersifat holistik dan terpadu, dengan menempatkan aspek moralitas, ketuhanan, dan martabat kemanusiaan secara utuh sebagai hal yang substansial, sekaligus merupakan hakikat dan inti tujuan dari pendidikan.

Namun demikian pesantren tidak lepas dari berbagai problematika yang dihadapi seiring dengan terus berkembangnya tehnologi dan informasi, serta perkembangan sistem ekonomi, sosial dan politik baik pada tingkat lokal, nasional dan global. Sehingga pesantren tidak boleh lagi hanya memproduksi tokoh yang hanya ahli dibidang agama saja, namun juga harus menciptakan ahli di berbagai bidang misalnya ekonomi, tehnologi, sosial dan politik serta yang memiliki skill diberbagai bidang. Untuk itu pesantren harus berproses dengan melakukan beberapa inovasi sehingga sistem pendidikan pesantren dapat memproduksi manusia-manusia yang ahli dan memiliki skill diberbagai bidang tentunya dengan tetap memelihara dan memperkuat kultur pesantren, hal ini sejalan dengan kaedah ushul figh “ al muhafadlatu ala qadimis shalih wal ahdu bil jadidil ashlah”.
Oleh karenanya pesantren dalam menjaga eksistensi dan relevansinya dalam menghadapi tantangan masyarakat ekonomi asean (MEA), maka perlu melakukan upaya-upaya dan strategi sebagai berikut :

Revitalisasi pendidikan pesantren
Dalam rangka menyiapkan institusi pesantren menghadapi dinamika dan perkembangan dunia kontemporer yang semakin kompleks, maka sistem pendidikan pesantren perlu mengalami penguatan dan penyesuaian, dalam arti perlu adanya revitalisasi dan reorientasi agar sistem pendidikan pesantren tersebut tetap eksis di masa mendatang. 
Apalagi setelah dikeluarkanya PP No 55 tahun 2007 yang mengakomodasi pendidikan pesantren dalam sistem pendidikan nasional, hal ini menuntut pesantren untuk terus mengembangkan sistem pendidikannya namun juga tidak terjebak dengan liberalisasi pendidikan yang melahirkan orientasi pendidikaan sebagai institusi bisnis belaka. Walaupun dalam perkembangannya orientasi pesantren mengalami perubahan dari orientasi yang hanya mengembangkan pendidikan agama islam pada orientasi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang didalamnya tidak hanya sekedar mempelajari ilmu agama namun juga mempelajari ilmu pengetahuan lainya, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pesantren yang memiliki lembaga pendidikan formal, mulai dari SD, SMP, SMA/SMK bahkan ada yang memiliki perguruan tinggi. Ini merupakan modal utama bagi pesantren untuk menyiapkan alumninya menghadapi perkembangan jaman.

Revitalisasi manajemen pesantren
Dari sisi managemen kelembagaan, di pesantren saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung eksklusif berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan. Sehingga institusi pesantren menjadi lebih inklusif dengan pengelolaan yang akuntable. Ini akan menjadi modal dalam menghadapi persaingan global.

Revitalisasi kultur pesantren
Meski di satu sisi pesantren dituntut untuk lebih terbuka dalam mengadopsi dan mengadaptasikan dirinya dengan perkembangan dunia kontemporer, namun pesantren juga harus tetap menjaga dan menguatkan kultur-kultur yang selama ini menjadi ciri khasnya. Prinsip kemandirian yang selama ini ada di pesantren misalnya, merupakan pola pendidikan yang perlu terus dikembangkan dalam membentuk kepribadian generasi bangsa yang mandiri. Sebab, sejak awal para santri di pesantren sudah dilatih mandiri. Ia mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya. Prinsip seperti ini tentu saja merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki pesantren dalam membentuk kepribadian santri, dan tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah formal pada umumnya. Selain itu, sikap-sikap seperti tawazun, tasamuh, tawassuth yang telah menjadi karakter pesantren merupakan kultur yang juga harus lebih dimantapkan.

Mendorong implimentasi Kebijakan Pemerintah ( PP 55/2007)
Pesantren sebagai institusi pendidikan yang telah mengakar dimasyarakat, dan keberadaan pondok pesantren dalam sistem pendidikan nasional kiranya tidak cukup dipandang hanya sebagai sebuah subsistem, tetapi harus dipandang sebagai “mitra” di dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Posisi pesantren yang mengintegrasi di dalam sistem pendidikan nasional sejauh ini tercermin dalam berbagai aspek. Pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenjang pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional pesantren diposisikan sejajar dengan pendidikan formal, sehingga kedudukannya menjadi sama, tidak ada lagi sub-ordinasi terhadap pendidikan pesantren.

Dengan melakukan upaya-upaya tersebut maka institusi pesantren akan tetap terjaga kultur nya sebagai institusi yang melahirkan tokoh-tokoh agama yang handal sekaligus akan tetap dapat menjadi institusi pendidikan yang selalu siap menghadapi perkembangan jaman serta dapat bersaing dalam pentas global. Hadirnya MEA tidak akan menggerus eksistensi pesantren, bahkan akan menjadikannya menjadi institusi yang lebih berkembang dan profesional.
Selamat Dan sukses SILATNAS AYO MONDOK. SANTRI NUsantara.

HUSNUL HAKIM SY, MH*
*sekretaris Ansor Kab Malang
*Dosen Ilmu Pemerintahan UNIRA Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar