Senin, 23 Mei 2016

Pendamping Desa Dan tantangannya


UU Desa tidak hanya melembagakan kebiasaan baik di PNPM, namun lebih dari itu, UU Desa telah melampaui apa yang selama ini ada di PNPM. Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas diformalkan dengan lebih apik. 

PP 43 / 2014, Pasal 126 ayat 1 merumuskan tujuan Pemberdayaan masyarakat Desa adalah untuk memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Dengan tujuan seperti itu, pendamping desa akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendamping teknis. Pendamping teknis seperti Fasilitator PNPM, selama ini hanya bersinggungan dengan sisi luar aktifitas pemerintahan desa. 

Penyusunan perencanaan pembangunan desa hanya selesai sampai tahap formalisasi RPJMDesa dan RKPDesa. Sampai disini, PNPM dan desa berjalan sendiri-sendiri. Tidak pernah ada singkronisasi rencana kerja anggaran pembangunan desa melalui APBDes. Pada saat selesai penganggaran di MAD Penetapan Usulan, Fasilitator PNPM juga hanya fokus pd kegiatan yang didanai PNPM. Begitu juga pemantauan Tim Monitoring juga hanya fokus pada kegiatan PNPM. Tidak pernah ada pengawasan terpadu atas pelaksanaan pembangunan di desa. Fasilitator PNPM memang tidak bisa masuk terlalu jauh ke dalam sistem pemerintahan desa karena itu tidak diperintahkan PTO. Konsep integrasi juga hanya sampai pada dokumen RPJMDesa dan RKPDesa.

Upaya mengawal penyusunan APBDesa seperti mengorek sumber dan besaran pendapatan desa seperti mencari masalah, apalagi mempertanyakan alokasi hingga penggunaanya. Tindakan seperti itu bagi Fasilitator PNPM akan dianggap telah mengobok-obok desa. Begitulah keterbatasan wewenang pendamping teknis. Berbeda dengan pendamping desa. Pada saatnya nanti, pendamping desa akan jauh melampaui Fasilitator PNPM. Mereka nantinya harus masuk lebih jauh kedalam tatakelola pemerintahan desa. Memastikan pemerintah desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan dan komponen desa lainnya, mengambil peran secara maksimal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Pasal 127 PP 43 / 2014 memberikan arahan lebih detail. Pendamping desa harus mengawal penyusunan perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal; Jika Pendamping PNPM hanya fokus pada penganggaran BLM saja, maka pendamping desa harus mengawal konsolidasi keuangan desa melalui APBDesa. Sumber pendapatan desa, mulai dari PADesa, ADD dari APBN, ADD dari APBD, bagi hasil pajak dan retribusi, serta berbagai sumber pendapatan lainnya harus dikelola secara transparan dan akuntabel melalui APBDesa. Bukan hanya memastikan pembangunan desa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, namun juga penyelenggaraan pemerintahan desa juga harus demikian. Lebih dari itu,  juga harus dikembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas tata pemerintahan desa. Terkait dengan semangat ini, komunitas Gerakan Desa Membangun (GDM) telah mengawali aksi dengan meluncurkan domain desa.id yang arahnya menjadi media transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa. 

Terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, Pasal 86 UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan, meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia. Sistem informasi Desa dikelola oleh Pemerintah Desa dan harus memberikan akses kepada masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. Dalam jangka panjang, penerapan teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menjadi pintu masuk bagi penerapan e audit dana desa. Pendamping desa juga memegang peran penting dalam mendorong pendayagunaan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat. Bukan tugas yang mudah, karena selama ini dibanyak tempat, lembaga kemasyarakatan seakan hanya lembaga papan nama saja. Kondisi ini terjadi karena memang lembaga kemasyarakatan di desa tidak pernah mendapat sentuhan. Di PNPM Perdesaan, LPM, salah satu lembaga kemasyarakatan ini baru disentuh setelah konsep integrasi digaungkan pada awal 2011. 

Dalam menguatkan lembaga kemasyarakatan ini, Pasal 98 UU Desa menegaskan, Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa. Tidak kalah penting, pendamping desa juga dituntut mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa. Kebijakan-kebijakan strategis yang berkaitan dengan desa, utamanya pengelolaan pembangunan desa, harus dipertanggungjawabkan melalui musyawarah desa. Selanjutnya, Pendamping desa juga bertugas mendorong pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa. 

Pengawasan secara kelembagaan menjadi tugas utama BPD dan secara partisipatif menjadi hak dan kewajiban masyarakat desa. Karena itu mendorong penguatan fungsi BPD UU Desa Pasal 61, BPD berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan desa kepada Pemerintah Desa. BPD juga berhak menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Hak-hak inilah yang harus dikuatkan oleh pendamping desa. Kepala desa memang pemegang kuasa atas pengelolaan keuangan desa, namun UU Desa juga memberi ruang kepada BPD untuk terus terlibat dalam pengambilan keputusan strategis. RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa adalah dokumen strategis yang ditetapkan dengan melibatkan BPD. Jika sebelumnya, di PNPM, masyarakat dididik mengawasi pelaksanaan kegiatan melalui kelembagaan program yang bernama Tim Monitoring, kemudian dikembangkan menjadi konsep CBM, maka UU Desa mengembangkan konsep Community Based Monitoring (CBM) meluas ke ranah penyelenggaraan pemerintahan desa. 

Pada tahap selanjutnya, pendamping desa bahkan dituntut untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat desa akan hak dan kewajibannya sebagai warga desa. Pada tahap ini, pendamping desa harus memerankan diri sebagai community organizer yang harus jeli membaca fenomena hubungan sosial antar kelembagaan dan masyarakat. 

Untuk itulah, UU Desa Pasal 68 merinci hak Masyarakat  Desa antara lain: a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil; c. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, masyarakat Desa; dan pemberdayaan. d. memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi: 1. Kepala Desa; 2. perangkat Desa; 3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau 4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa. e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa. Kemudian Masyarakat Desa juga berkewajiban: a. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa; b. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik; c. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa; d. memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan e. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.

Sejalan dengan penguatan kelembagaan dan penyadaran masyarakat desa, paradigma pemerintah desa juga harus dirubah. Dominasi pemerintah desa yang terlalu kuat dalam hubungannya dengan kelembagaan desa, harus mulai ditata ulang. Kita tahu, salah satu kompenen yang mendesakkan aspirasi dana desa dari APBN adalah Asosiasi Kepala Desa (AKD), karena itu jangan sampai UU Desa hanya dipahami dana desanya saja. Pemerintah desa harus memahami bahwa essensi pengaturan desa sebagaimana pasal 4 UU Desa adalah membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab. Itulah sekilas tantangan kerja-kerja pendampingan era UU Desa. Dibutuhkan tidak hanya sekedar ketrampilan teknis fasilitasi, melainkan juga kemampuan membaca hubungan sosial yang terbingkai dalam kesatuan masyarakat hukum yang bernama desa. Jika Pendamping Teknis mendasarkan aktifitas pendampingannya pada aturan program, maka pendamping desa mengorganisasikan pendampingan masyarakat desa berdasarkan UU Desa dan peraturan pelaksananya. 

Mengutip arahan Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat, Ditjen PMD, Kemendagri, Bito Wikantosa, implementasi UU Desa menuntut pembaharuan konsep pendampingan dari model pendamping teknis Community Driven Development (CCD), menjadi paradigma pendamping desa Village Driven Development (VDD). Saran Bito Wikantosa kepada Fasilitator PNPM, sebagai pendamping teknis, harus segera mengambil langkah-langkah menyongsong pendampingan desa dengan Menambah ketrampilan diri untuk mampu mendampingi Desa dalam kerangka kerja VDD, mereorientasi diri dari pekerja proyek yang taat menjalankan PTO menjadi community organizer yang secara kreatif memfasilitasi Desa tumbuh menjadi kesatuan masyarakat hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Mengubah sikap diri dari pekerja proyek yang berada dalam pusaran kekuasaan jalur fungsional menjadi Pemberdaya Masyarakat yang Mandiri dan Berpikir Kritis-Kontekstual serta memanfaatkan waktu yang terbatas dalam skala kerja PNPM Mandiri Perdesaan untuk melakukan Pembaharuan Diri.

Sumber:http://m.kompasiana.com/rabiah adawiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar