Minggu, 15 Mei 2016

KH AS'AD SAID ALI: GAGASAN KHILAFAH TIDAK MASUK AKAL

“Setiap zaman butuh sesuatu yang baru untuk mengatasi problem yang ada.”

KH. Dr. As’ad Said Ali mengatakan, gagasan pendirian negara khilafah Islamiah tidak realistis diperjuangkan saat ini. Menurutnya, ada tiga alasan mendasar yang bisa dijadikan penilaian tersebut. 


Pertama karena dari sisi konsep pengertian khilafah tidak tunggal. Sejak era Khulafa Ar-Rasyidin (kepemimpinan pelanjut Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), tidak ada pengertian yang baku tentang Khilafah. Bahkan menurutnya, sampai berkali-kali pertemuan para ulama Islam juga tidak menghasilkan kesepakatan baku tentang pengertian Khilafah. Adapun yang baku dan dipahami oleh mayoritas ulama Islam adalah Khilafah sebagai imamah, atau khalifah yang dalam pengertian saat ini adalah pembawa mandat (mandataris).

Kedua, menurut Alumni Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dan Alumni FISIPOL Universitas Gadjah Mada ini, Daulah Islamiah di bawah sistem Khilafah seperti Abbasiyah misalnya lebih memperlihatkan model kerajaan yang memang menjadi tren model negara zaman itu. 

“Harus dilihat juga bahwa waktu itu, eksistensi Daulah Islamiah Abbasiah kiprahnya masih bergantung pada pasar yang kala itu dominan. Jadi kalau ada istilah Khilafah menjajah atau menaklukkan dengan model ekspansi militer tidak sesimple itu kisahnya. Persoalan model negara saat itu hanya bisa dipahami lebih jernih jika kita mau meneliti model gerak negara dengan kacamata sejarah yang mendalam dan teliti, termasuk melibatkan studi ekonomi-politik. Selain itu juga harus dilihat isi dalamnya Khilafah waktu itu yang di dalamnya juga terdapat fakta-fakta sekularisme dari perilaku hidup pejabat Khilafah waktu itu. Misalnya pejabat-pejabat tinggi yang memiliki banyak selir yang itu menyimpang dari garis Syariat Islam,” terangnya saat perbincangan kepadaFaiz Manshur dari civicislam.co  Rabu 17 Pebruari 2016 di Tebet, Jakarta Selatan.

Argumen ketiga menurut As’ad, konsep Khilafah yang popular seperti yang diusung kelompok Hizbut Tahrir itu mengacu pada gagasan trans-nasional itu tidak masuk akal untuk sebuah proyek masa depan. Gagasan seperti itu menurutnya harus ditinjau ulang, terutama dengan mempertimbangkan manfaat dan madharatnya. As'ad berpesan kepada pengusung gagasan Khilafah agar meninjau secara lebih kritis, objektif dengan basis-basis riset yang memadai agar tidak terjebak menjadikan ide Khilafah sebagai satu-satunya sistem baku yang harus diperjuangkan hanya karena alasan kita orang Islam. Sebab menurutnya, dalam Islam, urusan politik merupakan urusan ijtihad.

“Kalau usahanya untuk itu, maka tidak masuk di akal untuk diwujudkan. Harus membayangkan pula resiko mengganti negara bangsa karena tidak mudah dan biasanya menimbulkan korban. Berbeda dengan Islam seperti NU atau Muhammadiyah yang memilih jalan adaptasi dengan menggali sumber lama dan menyesuaikan dengan kondisi modern dengan menerima demokrasi atau republikanisme. Tentu itu lebih diterima akal karena dalam prinsip Islam yang terpenting adalah apakah negara itu mampu mewujudkan cita-cita idealnya atau tidak, ” terangnya.

Penulis buku Gerakan Ideologi Pasca Reformasi ini juga berbagi pengetahuan, bahwa gerakan Hizbut Tahrir tersebut memiliki problem epistemologis karena tidak mau bergerak dalam ruang lingkup nation-state (negara-bangsa) sehingga gerakan politiknya mengalami marginalisasi.

“Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang punya basis massa dan punya doktrin untuk melebur dengan situasi modern di jalur negara-bangsa. Hizbut Tahrir tidak demikian. Karena gerakannya tidak berdaya menghadapi situasi itu, makanya mereka memilih jalan konsolidasi, atau istilah mereka adalah mudhaharah,” jelasnya.

As’ad Said Ali juga menjelaskan, karena kelompok Hizbut Tahrir ini tidak sepakat dengan sistem negara bangsa modern republikanisme, maka dalam politiknya sering kali menemupuh jalan kudeta.

“Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan ya. Soal ideologi saya menghargai apapun ideologinya, tapi saya saya mengatakan fakta. Dan sudah ada fakta dulu di Mesir Hizbut Tahrir berusaha melakukan kudeta dua kali dan di Yordania empat kali,” jelasnya.

Ditanya apakah Hizbut Tahrir termasuk organisasi yang berbahaya, As’ad menjawab diplomatis dengan mengatakan “selagi tidak melakukan kudeta tentu tidak berbahaya,” ucapnya.

Adapun pada sisi dakwah Hizbut Tahrir yang menggalang kekuatan massa dengan penyebaran ideologinya menurut Asad Ali sebenarnya itu akan menganggu eksistensi negara-bangsa Pancasila. Tetapi sampai saat ini pemerintah tidak punya alasan untuk melarang gerakan pendirian khilafah karena tidak ada Undang-Undang yang bisa dijadikan landasan.

“Dalam hal ini menurut saya perlu adanya Undang-Undang yang berbicara tentang kriminalisasi ideologi. Dulu ada UU Subversi. Tetapi tentu sekarang tidak bisa digunakan. Menurut saya, setiap zaman butuh sesuatu yang baru untuk mengatasi problem yang ada termasuk masalah kriminalisasi ideologi. Sebab kalau tidak eksistensi negara bisa berbahaya. Sementara waktu mereka memang belum terlalu membahayakan karena belum bersenjata. Kalau nanti mereka bersenjata bagaimana? “ tanya As’ad.

Perlu Gerakan Pencerahan

As’ad Said Ali adalah sosok yang memiliki banyak pengetahuan ideologi dan gerakan-gerakan Islamisme. Bertugas di kawasan Timur Tengah di masa tahun 1982 hingga 1991 membuat dirinya kenyang pergaulan dengan banyak aktivitas pergerakan, bahkan sering bertemu dengan pimpinan-pimpinan kelompok Islam radikal, salahsatunya pernah beberapakali bertemu dengan Osama Bin Laden (Alm).

Setelah bertugas di Timur Tengah, As’ad Said Ali juga pernah berada di lapisan pimpinan Badan Inteligen Negara (BIN) selama 10 tahun, menjadi Wakil Ketua BIN. Dari banyaknya pengetahuan lapangan dan riset disertai pemikiran keislamannya berhaluan Sunni-inklusif yang dianutnya, As’ad Said Ali sering merasa prihatin dengan penganut-penganut ajaran ideologi Islamisme.

“Saya ini keluar masuk ke kelompok mereka. Dari tempat kosnya hingga penjara. Seringkali saya bicara dengan mereka, dan sebagian dari mereka sering menyadari irasionalitas gerakan mereka. Misalnya mempertanyakan apakah yang diperjuangkan itu politik kelompoknya atau benar-benar memperjuangkan Islam dan berjuang untuk Allah? Sebagian mereka bisa berpikir jernih dan bahkan merasa malu karena sering menyerang orang-orang yang lebih taat kepada Allah ketimbang mereka sendiri,” tuturnya.

Menurut As’ad, kalangan Islam Sunni seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus gigih menjelaskan garis keislaman yang benar tanpa harus menjadi radikal.

“Kita bisa merujuk nilai-nilai lama dari Islam, tetapi juga harus realistis menerima negara bangsa, menerima demokrasi. Tetapi demokrasi kita juga tidak bisa liberal sebagaimana negara-bangsa Eropa. Harus ada pencerahan bersama. Harus ada pencerahan tentang dua hal mendasar, yaitu tentang politik Islam masa lalu, dan demokrasi yang kita jalani sekarang sehingga kita bisa mengatakan politik Islam yang tepat untuk masyarakat Indonesia itu seperti ini lho...,” terangnya.[] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar