Selasa, 24 Mei 2016

Keakraban KH Wahid Hasyim dengan Tan Malaka

Keakraban KH Wahid Hasyim dengan Tan Malaka

Kedangkalan wawasan, minimnya ilmu serta fanatisme ekstrem terhadap agama, ideologi, madzhab dan paham tertentu acap menyebabkan seseorang bersikap eksklusif. Bahkan ketika bergaul atau bersosialisasi pun orang tersebut tidak mau bertoleransi dengan orang atau kalangan yang berbeda dengan dirinya dalam segi agama, ideologi, madzhab dan perbedaan primordial lainnya. Ironisnya sikap dan pendirian eksklusif seperti itu ternyata juga masih menghinggapi tidak sedikit para tokoh dan pemuka agama.

Tapi tidak demikian dengan sikap KH. Wahid Hasyim. Bagi putra pendiri NU KH Hasyim Asy’ari ini baik perbedaan agama,ideologi maupun perbedaan haluan politik tidak menghalanginya untuk tetap menjalin persahabatan. Terbukti ayah Gus Dur, ini dalam sejarah hidupnya tidak hanya berkawan dengan orang yang berbeda agama. Melainkan beliau juga bersedia berteman dengan Tan Malaka, seorang tokoh pejuang bangsa yang berhaluan komunis. Bahkan Tan Malaka merupakan anggota komintern (jaringan komunis) internasional.        

Kisah pertemanan KH. Wahid Hasyim dengan Tan Malaka ini sudah kerap disampaikan Gus Dur dalam berbagai kesempatan. Salah satunya adalah sebagaimana pernah diberitakan oleh koran Duta Masyarakat edisi 28 Januari 2000.  Berdasarkan informasi media tersebut, Gus Dur selaku Presiden RI tahun 2000 menyampaikan cerita tentang persahabatan antara ayahandanya itu dengan Tan Malaka dihadapan  umat Hindu saat mereka merayakan pringatan Nyepi di Candi Prambanan.     

Waktu itu Gus Dur bercerita, "Ayah saya yang kebetulan seorang kiai sering didatangi orang di waktu sore. Saya ingat betul, saat saya masih kecil, sekitar pukul 7 ada orang mengetuk pintu. Ketika pintu saya buka, saya tanya cari siapa pak?

Tamu yang mengaku bernama Husein tersebut kemudian menjawab bahwa dia mencari ayahnya. Tamu tersebut menurut Gus Dur seperti orang Indonesia lainnya, yaitu juga pakai peci. Kemudian Gus Dur yang masih anak-anak, itu memberitahukan kepada ayahnya yang sedang di dalam bahwa beliau dicari Pak Husein.

Begitu mendengar nama Husein, kata Gus Dur, ayahnya langsung bangun dan menemui tamunya sambil berpelukan mesra. Dan selanjutnya memerintahkan Gus Dur yang waktu itu masih berumur sekitar 4-5 tahun agar meminta ibunya menata hidangan.

Baru belakangan setelah Gus Dur berumur 50 tahun lebih, ibunya mengatakan kepadanya, "Kamu tahu siapa itu pak Husain, yang datang pada malam-malam dahulu, itu Tan Malaka".

Dari pengalaman di atas, menurut Gus Dur, memberikan bekas yang sangat dalam kepada dirinya. Hal itu menambah kuatnya keyakinannya bahwa sudah dari dulu pun nenek moyang kita (bangsa indonesia) sudah demikian saling menghargai.

Gus dur mengajukan alasan, bagaimana tidak saling menghargai. "Banyangkan, Tan Malaka, anggota komintern yang dianggap tidak bertuhan itu datang berpeluk-pelukan dengan seorang kiai. Inilah Indonesia," ungkap Gus Dur dengan nada serius.

Lewat riwayat singkat di atas juga secara implisit memberi pesan bahwa semua komponen dan elemen bangsa ini seharusnya dapat menerima kehadiran yang lain. Bahwa semua golongan dan semua agama juga ikut mendirikan Republik Indonesia atas dasar saling menghargai. Layaknya kemajemukan masyarakat dan pluralisme beragama tetap dihargai.

Sumber: nuonline
M Haromain, pengajar di pesantren Nurun ala Nur Wonosobo, bergiat di Forum Santri Temanggung, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar