Senin, 30 Desember 2013

KH. A. Wachid Hasyim: Nasehat tahun 1951

“Dalam bulan Desember 1951 ini terjadi dua hal yang mengandung arti dalam sekali. Dua kejadian tadi telah lewat begitu saja dengan tidak ada orang yang menghiraukan baik di kalangan rakyat jelata Islam atau dengan terminologi Al-Qur’an : mustadh’afin maupun di kalangan pemimpin-pemimpin Islam yang menurut terminologi Al-Qur’an disebut mustakbirin, atau juga disebut kubara”. 
Kejadian pertama, ialah konferensi Pasundan, dan yang kedua peletakan batu pertama Gedung Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Letak kepentingannya soal tadi tidaklah pada kejadiannya peristiwa-peristiwa itu sendiri, tetapi maksud “dalam : yang tidak tampak”, dan walaupun bagaimana juga ditutupi toh akhirnya kelihatan juga. Zaalika qauluhum biafwaahihim, wamma tukhfi shuduuruhum akbar (At-Taubah: 31).

Peristiwa pertama, ialah anjuran-anjuran yang diucapkan pada konferensi Profesor-profesor Kristen seluruh Asia di Pasundan itu. Dengan terang dan secara terbuka disebutkan bahwa Indonesia haruslah menjadi Negara Kristen. Tentang anjuran-anjuran demikian dilihat dari sudut mereka pihak Nasrani, tidaklah kami akan gugat-gugat atau kritik, sebab hal itu adalah hak mereka. Di dalam Negara demokrasi seperti Indonesia (walaupun oleh majalah Minggu Pagi dinamakan demokrasi ugal-ugalan), tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikendakinya, boleh mengemukakan pendapat dan pikirannya sebebas-bebasnya asal di dalam batas undang-undang. Oleh karenanya dalam ucapan tadi kita tidak akan mengugat-gugat atau mengkritik. Hanya kepada pihak kita, umat Islam yang menurut hukum-hukum Demokrasi itu pula mempunyai hak untuk hidup dan untuk mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan penyesalan-penyesalan dan kritik-kritik. Terutama kepada pemimpin-pemimpin Islam. Kami menyesal, oleh karena terjadi peristiwa demikian itu, dan tidak ada seseorang pun dari pemimpin-pemimpin yang tergerak hatinya untuk mensinyalir dan menunjukan umat Islam Indonesia, agar jangan tetap dalam tidurnya yang nyenyak dan mabuk politiknya yang membahayakan ini. Kami ingin bertanya kepada Dr. H. Soekiman W, Ketua Partai Islam Indonesia dulu sebelum perang, dan kini telah menjadi Ketua Muktamar Masyumi, dan konon kabarnya menjabat pula kedudukan sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. dimanakah perhatian Bapak akan hal-hal semacam ini? Kepada Bapak H. Mohammad Natsir, dari Pembela Islam Bandung, yang kini menjadi Ketua Dewan Pimpinan Partai Masyumi dan Konon kabarnya menjabat pula Pemimpin Fraksi Partai Masyumi di dalam konstituante, kami ingin bertanya manakah pimpinan Bapak kepada kami Umat Islam di dalam saat-saat yang demikian genting dan berbahaya ini ?
Adapun peristiwa kedua, ialah ucapan yang dikemukakan Profesor Doktor Sardjito, Presiden UGM pada upacara peletakan batu pertama bagi Universitas tersebut tanggal 19 Desember (1951) ini. Di dalam pidatonya, Profesor Sardjito menerangkan, bahwasanya ada seorang tuan yang tidak mau disebut namanya, dan yang hadir di upacara tersebut, memajukan usul dan anjuran kepadanya. Dan oleh karena dirinya sudah tua, maka Profesor tersebut lalu meneruskannya dari panggung tempatnya berpidato kepada mahasiswa-mahasiswa UGM, agar mereka kelak melaksanakan pesanan tadi dan mewujudkannya. Anjuran tadi ialah, oleh karena Universitas Gajah Mada itu tempatnya terletak di antara Candi Borobudur dan Prambanan haruslah kelak menjelma (reinkarnasi) Borobudur dan Prambanan itu. Atas anjuran yang mengharuskan Gajah Mada menjelmakan Borobudur dan Prambanan itu, akhirnya para mahasiswa yang 70 % nya terdiri dari mahasiswa Gajah Mada itu bertepuk sebelah tangan. Kami tidak tahu apa artinya tepuk tangan itu? Apakah berarti Ikrar (Janji batin) akan menjalankan anjuran Bapak Sardjito yang mengharuskan Gajah Mada menjelma Borobudur dan Prambanan itu, ataukah merasa lucu bahwa di abad demokrasi dan suasana republik ini masih ada sebagai inti Borobudur dan Prambanan tadi, atau bagaimana?
Terhadap hak Pak Sardjito akan menguraikan pendapat dan pikirannya, sesuai dengan hukum demokrasi (entah demokrasi yang betul atau yang ugal-ugalan), kami tiada mengemukakan gugatan serta kritik-kritik, karena itu adalah haknya Pak Sardjito dan “tuan” yang mengilhaminya. Akan tetapi kepada pemimpin-pemimpin Islam, kami menggugat dan menuntut agar mereka itu agak membuka matanya sendiri, serta pula membuang selimutnya, karena hari sudah siang. Mereka itu masih juga keenakan tidur sambil memimpikan gambaran-gambaran yang bagus-bagus. Kiranya Bapak Dr. Soekiman dan Bapak H. Mohammad Natsir sudi memikirkan sejenak, sambil di manakah penyakit dan kuman-kuman berbisa telah menghinggapi tubuh umat Islam Indonesia, sehingga menyebabkan kehilangan kekuatan dan daya, sehingga segala bahaya tiada terasa lagi olehnya seperti sekarang ini. Ibaratnya seperti orang yang mengalami Sakratul Maut, tiada sadar lagi akan segala hal yang terjadi di kanan-kirinya. Kami mengharap bahwa Dr. Soekiman dan H. Mohammad Natsir tidaklah marah kepada kami yang memanggil beliau berdua di muka umum dengan perantara majalah yang dibaca ribuan orang. Ini lebih baik daripada bapak-bapak mengalami gugatan-gugatan rakyat jelata Muslimin di neraka kelak, seperti yang diceritakan Al-Qur’an menggambarkan umpatan rakyat jelata dalam surat Al-Ahzab ayat 66,67,68 yang artinya : “ingatlah pada waktu muka mereka dibolak-balikan di dalam neraka Jahanam, Allah dan Rasul-Nya”; mereka berkata :“Ya Tuhan, Kami dulu mengikuti pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin kami, rupanya mereka itu telah menyesatkan jalan kami : Ya Tuhan, berilah mereka itu dua kali lipat siksaan dan kutukalah mereka itu sejadi-jadinya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar