“Dalam
bulan Desember 1951 ini terjadi dua hal yang mengandung arti dalam
sekali. Dua kejadian tadi telah lewat begitu saja dengan tidak ada orang
yang menghiraukan baik di kalangan rakyat jelata Islam atau dengan
terminologi Al-Qur’an : mustadh’afin maupun di kalangan pemimpin-pemimpin Islam yang menurut terminologi Al-Qur’an disebut mustakbirin, atau juga disebut kubara”.
Peristiwa
pertama, ialah anjuran-anjuran yang diucapkan pada konferensi
Profesor-profesor Kristen seluruh Asia di Pasundan itu. Dengan terang
dan secara terbuka disebutkan bahwa Indonesia haruslah menjadi Negara
Kristen. Tentang anjuran-anjuran demikian dilihat dari sudut mereka
pihak Nasrani, tidaklah kami akan gugat-gugat atau kritik, sebab hal itu
adalah hak mereka. Di dalam Negara demokrasi seperti Indonesia
(walaupun oleh majalah Minggu Pagi dinamakan demokrasi ugal-ugalan),
tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikendakinya, boleh
mengemukakan pendapat dan pikirannya sebebas-bebasnya asal di dalam
batas undang-undang. Oleh karenanya dalam ucapan tadi kita tidak akan
mengugat-gugat atau mengkritik. Hanya kepada pihak kita, umat Islam yang
menurut hukum-hukum Demokrasi itu pula mempunyai hak untuk hidup dan
untuk mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan penyesalan-penyesalan dan
kritik-kritik. Terutama kepada pemimpin-pemimpin Islam. Kami menyesal,
oleh karena terjadi peristiwa demikian itu, dan tidak ada seseorang pun
dari pemimpin-pemimpin yang tergerak hatinya untuk mensinyalir dan
menunjukan umat Islam Indonesia, agar jangan tetap dalam tidurnya yang
nyenyak dan mabuk politiknya yang membahayakan ini. Kami ingin bertanya
kepada Dr. H. Soekiman W, Ketua Partai Islam Indonesia dulu sebelum
perang, dan kini telah menjadi Ketua Muktamar Masyumi, dan konon
kabarnya menjabat pula kedudukan sebagai Perdana Menteri Republik
Indonesia. dimanakah perhatian Bapak akan hal-hal semacam ini? Kepada
Bapak H. Mohammad Natsir, dari Pembela Islam Bandung, yang kini menjadi
Ketua Dewan Pimpinan Partai Masyumi dan Konon kabarnya menjabat pula
Pemimpin Fraksi Partai Masyumi di dalam konstituante, kami ingin
bertanya manakah pimpinan Bapak kepada kami Umat Islam di dalam
saat-saat yang demikian genting dan berbahaya ini ?
Adapun
peristiwa kedua, ialah ucapan yang dikemukakan Profesor Doktor
Sardjito, Presiden UGM pada upacara peletakan batu pertama bagi
Universitas tersebut tanggal 19 Desember (1951) ini. Di dalam pidatonya,
Profesor Sardjito menerangkan, bahwasanya ada seorang tuan yang tidak
mau disebut namanya, dan yang hadir di upacara tersebut, memajukan usul
dan anjuran kepadanya. Dan oleh karena dirinya sudah tua, maka Profesor
tersebut lalu meneruskannya dari panggung tempatnya berpidato kepada
mahasiswa-mahasiswa UGM, agar mereka kelak melaksanakan pesanan tadi dan
mewujudkannya. Anjuran tadi ialah, oleh karena Universitas Gajah Mada
itu tempatnya terletak di antara Candi Borobudur dan Prambanan haruslah
kelak menjelma (reinkarnasi) Borobudur dan Prambanan itu. Atas anjuran
yang mengharuskan Gajah Mada menjelmakan Borobudur dan Prambanan itu,
akhirnya para mahasiswa yang 70 % nya terdiri dari mahasiswa Gajah Mada
itu bertepuk sebelah tangan. Kami tidak tahu apa artinya tepuk tangan
itu? Apakah berarti Ikrar (Janji batin) akan menjalankan anjuran Bapak
Sardjito yang mengharuskan Gajah Mada menjelma Borobudur dan Prambanan
itu, ataukah merasa lucu bahwa di abad demokrasi dan suasana republik
ini masih ada sebagai inti Borobudur dan Prambanan tadi, atau bagaimana?
Terhadap
hak Pak Sardjito akan menguraikan pendapat dan pikirannya, sesuai
dengan hukum demokrasi (entah demokrasi yang betul atau yang
ugal-ugalan), kami tiada mengemukakan gugatan serta kritik-kritik,
karena itu adalah haknya Pak Sardjito dan “tuan” yang mengilhaminya.
Akan tetapi kepada pemimpin-pemimpin Islam, kami menggugat dan menuntut
agar mereka itu agak membuka matanya sendiri, serta pula membuang
selimutnya, karena hari sudah siang. Mereka itu masih juga keenakan
tidur sambil memimpikan gambaran-gambaran yang bagus-bagus. Kiranya
Bapak Dr. Soekiman dan Bapak H. Mohammad Natsir sudi memikirkan sejenak,
sambil di manakah penyakit dan kuman-kuman berbisa telah menghinggapi
tubuh umat Islam Indonesia, sehingga menyebabkan kehilangan kekuatan dan
daya, sehingga segala bahaya tiada terasa lagi olehnya seperti sekarang
ini. Ibaratnya seperti orang yang mengalami Sakratul Maut, tiada sadar
lagi akan segala hal yang terjadi di kanan-kirinya. Kami mengharap bahwa Dr.
Soekiman dan H. Mohammad Natsir tidaklah marah kepada kami yang
memanggil beliau berdua di muka umum dengan perantara majalah yang
dibaca ribuan orang. Ini lebih baik daripada bapak-bapak mengalami
gugatan-gugatan rakyat jelata Muslimin di neraka kelak, seperti yang
diceritakan Al-Qur’an menggambarkan umpatan rakyat jelata dalam surat
Al-Ahzab ayat 66,67,68 yang artinya : “ingatlah pada waktu muka mereka
dibolak-balikan di dalam neraka Jahanam, Allah dan Rasul-Nya”; mereka
berkata :“Ya Tuhan, Kami dulu mengikuti pemuka-pemuka dan
pemimpin-pemimpin kami, rupanya mereka itu telah menyesatkan jalan kami :
Ya Tuhan, berilah mereka itu dua kali lipat siksaan dan kutukalah
mereka itu sejadi-jadinya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar